ASPEK-ASPEK BIOFARMASI
Sebelum obat yang diberikan pada
pasien tiba pada tempat kerjanya dalam tubuh obat harus mengalami banyak
proses. Dalam garis besarnya, proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga
tingkat, yaitu fase biofarmasi, farmakokinetik, dan farmakodinamik. Biofarmasi
adalah ilmu yang bertujuan menyelidiki pengaruh pembuatan sediaan obat atas
kegiatan terapetiknya. Faktor formulasi yang dapat mengubah efek obat dalam
tubuh adalah: bentuk fisik zat aktif (amorf, kristal, kehalusan), keadaan
kimiawi (ester, garam kompleks dan sebagainya), zat pembantu (zat pengisi, zat
pelekat, zat pelicin, zat pelindung, dan sebagainya), serta proses teknis
pembuatan sediaan (tekanan mesin tablet).
1. Bentuk Fisik Zat Aktif (Amorf,
Kristal, Kehalusan) Telah terbukti bahwa obat yang dihaluskan sampai ukuran
partikel 1-5 mikron (microfine) menghasilkan kadar darah 2-3 kali lebih tinggi
sehingga dosisnya dapat diturunkan 2-3 kali. Misalnya, griseofulvin,
spironolakton, dan digoksin. Sebaliknya pada sediaan rektal (suppositoria), zat
amorf seringkali menyebabkan pelambatan dari ketersediaan biologisnya (BA,
bio-availability-nya), hal ganjil ini belum dapat dijelaskan. Zat amorf
resorpsinya lebih baik dibanding kristal. Pada pembuatan suspensi harus
dipilihmetode tertentu supaya zat aktif tetap berbentuk amorf. Misalnya, pada
pembuatan suspensi sefalosporin atau suspense kering yang lain. Syarat
kehalusan dengan sendirinya tidak berlaku bagi sediaan yang bekerja lokal dalam
usus dan justru tidak boleh diserap, misalnya obat cacing (pirantel pamoat)
atau kemoterapeutika yang melawan infeksi usus (kanamisin, neomisin).
2. Keadaan kimiawi (ester, garam
kompleks dan sebagainya) Telah dibuktikan bahwa zat hidrat yang mengandung air
kristal dalam molekulnya lebih lambat resorpsinya dibanding dengan yang tanpa
air Kristal, misalnya ampisilin trihidrat (Penbritin) dibandingkan
ampisilin.0Aq. (Amfipen). Natrium edetat dapat membentuk kompleks dengan banyak
zat sehingga mempercepat resorpsinya oleh usus, misalnya manitol dan heparin.
Hormon kelamin yang diuraikan getah lambung dapat diberikan per oral sebagai
esternya yang stabil, misalnya etinilestradiol dan testosterone dekanoat
demikian pula eritromisin-stearat.
3. Zat pembantu (zat pengisi, zat
pelekat, zat pelicin, zat pelindung, dan sebagainya) Pada tahun 1971 di
Australia terjadi peristiwa difantoin (=fenitoin), yaitu ketika pasien yang
menelan tablet anti-epilepsi ini menunjukkan gejala keracunan. Ternyata kadar
fenitoin dari tablet tersebut sangat tepat, tetapi zat pengisi kalsium sulfat telah
diganti dengan laktosa pada proses pembuatannya. Akibat perubahan ini BA
fenitoin ditingkatkan yang mengakibatkan kenaikan resorpsinya dengan efek
toksis. Zat-zat dengan kegiatan permukaan (tween, span) atau zat hidrofil yang
mudah larut dalam air (polivinilpirolidon, carbowax) dapat mempercepat
melarutnya zat aktif dari tablet. Sebaliknya zat-zat hidrofob (= tidak suka
air) digunakan pada produksi tablet sebagai pelicin untuk mempermudah
mengalirnya campuran tablet ke dalam cetakan (dies) dan mencegah melekatnya
pada stempel. Zat-zat ini (asam/magnesium stearate dan lain-lain) dapat
menghambat melarutnya zat aktif. Kini sering digunakan aerosol (asam silikat
koloidal) sebagai zat pelican dan anti lekat karena tidak menghambat melarutnya
zat aktif. Zat pengikat pada tablet dan
zat pengental suspensi, seperti gom, gelatin dan tajin umumnya juga
memperlambat larutnya obat. Zat desintegrasi (berbagai jenis tepung) justru
mempercepatnya.
4. Proses teknis pembuatan
sediaan (tekanan mesin tablet) Semakin keras pencetakan tablet, semakin sukar
melarutnya zat aktif. Begitu pula tablet yang disimpan seringkali mengeras dan
lebih sukar melarut. Selanjutnya untuk menjelaskan aspek biofarmasi kita akan
menyusun bahan ajar dalam 5 bahasan, yaitu: (a) formulasi obat dan
pharmaceutical availability (FA); (b)
biological availability (BA); (c) kesetaraan teurapeutis; (d) bioassay; dan (e)
standardisasi serta cara pemberian.
a.
Formulasi Obat dan Pharmaceutical
Availability
(FA) Pharmaceutical
Availability (FA) merupakan ukuran untuk bagian obat yang in-vitro
dibebaskan dari bentuk pemberiannya dan tersedia untuk proses resorpsi,
misalnya dari tablet, kapsul, serbuk, suspensi, suppositoria dan sebagainya.
Dengan kata lain FA merupakan kecepatan larut dan jumlah dari obat yang menjadi
tersedia in-vitro dari bentuk farmasetisnya. Bentuk tablet. Setelah ditelan
tablet akan pecah (desintegrasi) di lambung menjadi banyak granul kecil yang
terdiri dari zat aktif tercampur zat-zat pembantu (gom, gelatin, tajin). Baru
setelah granul ini pecah, zat aktif dibebaskan. Bila daya larutnya cukup besar,
zat aktif akan melarut dalam lambung atau usus, tergantung dimana saat itu obat
berada. Hal ini ditentukan oleh waktu pengosongan lambung yang berkisar antara
2 sampai 3 jam setelah makan. Setelah melarut, obat tersedia dan proses
resorpsi oleh usus dimulai. Peristiwa inilah yang disebut FA. Dari uraian diatas, jelaslah bahwa obat
berbentuk cairan (larutan, sirop) akan mencapai keadaan FA dalam waktu yang
jauh lebih singkat karena tidak harus melalui fase desintegrasi dari tablet,
granul dan melarut. Sebagai contoh asetosal. Bila diberikan sebagai larutan,
puncak plasmanya (A) dicapai setelah lebih kurang 1 jam, sedangkan tablet salut
enteric (ec), yaitu dengan lapisan tahan asam yang baru pecah dalam usus
menghasilkan kadar maksimal (B) setelah 4 jam dan hanya berjumlah lebih kurang
50% dari (A). Untuk jelasnya lihat grafik dibawah ini. Ukuran melarut. Untuk
obat yang tahan getah lambung, kecepatan melarut dari berbagai bentuk sediaan
menurun dengan urutan sebagai berikut.
Larutan – suspensi – serbuk –
kapsul – tablet – tablet salut selaput – dragees (tablet salut gula) – tablet
e.c. – tablet kerja panjang (retard, sustained release)
Gambar 1.1.1 Grafik kadar-waktu
dari asetosal sebagai larutan (A) dan sebagai tablet e.c. (B), diukur sebagai metabolitnya asam
salisilat.
Ini
berarti bahwa tablet walaupun murah dan praktis sebetulnya efektivitasnya agak
lebih rendah sebagai bentuk sediaan dibandingkan dengan larutan, serbuk atau
kapsul. Inilah sebabnya, tablet dengan beberapa pengecualian sebaiknya dan bila mungkin dikunyah sampai
halus sebelum ditelan.
b.
Biological Availability (BA)
BA adalah persentase obat yang diresorbsi dari
tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia untuk melakukan efek
teurapeutisnya. Di beberapa Negara (AS, Jerman) mencakup juga kecepatannya
dengan mana obat muncul di sirkulasi darah. Biasanya obat baru berefek sesudah
obat melalui sistem porta dan hati kemudian tiba di peredaran darah besar yang
mendistribusikan ke seluruh jaringan. BA dapat diukur secara in-vivo (pada
keadaan sesungguhnya pasien) dengan menentukan kadar plasma obat sesudah
mencapai steady-state. Pada keadaan ini terjadi keseimbangan antara kadar obat
di semua jaringan tubuh dan kadar darah yang praktis konstan, karena jumlah zat
yang diserap dan dieliminasi adalah sama. Antara kadar plasma dan efek
teurapeutisnya pada umumnya terdapat korelasi yang baik. Pengecualian, misalnya
obat hipertensi yang masih berefek walaupun kadarnya dalam plasma sudah tidak
dapat diukur lagi. Dengan cara penentuan kadar obat yang lebih mudah dan
sederhana, sejumlah obat terdapat korelasi baik antara kadar dalam air liur dan
kadar dalam plasma. Contoh perbandingan untuk fenitoin adalah lebih kurang 1:10
bila contoh air liur diambil pagi hari sebelum menelan obat. Perbandingan ini
hampir sama dengan persentase obat bebas di dalam plasma yang tidak terikat
pada antipirin, digoksin, estron, dehidrotestosteron, dan barbital, yakni 10%.
Sebaliknya FA hanya dapat ditentukan in-vitro dalam laboratorium dengan
mengukur kecepatan melarutnya zat aktif dalam waktu tertentu (dissolution
rate). Pengukuran ini dilakukan dengan metode dan alat khusus yang meniru
sejauh mungkin keadaan alami dalam saluran lambung-usus. Sayang sekali cara
penentuan yang mudah dan praktis ini hasilnya jarang menunjukkan korelasi
dengan kadar obat dalam plasma in-vivo yang lebih sukar pelaksanaannya. Oleh
karena itu, pengertian BA lebih disukai dan sudah menjadi lazim penggunaannya.
c. Kesetaraan Teurapeutis
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa 2 tablet dengan zat aktif sama tapi pabrik berlainan
tidak selalu menghasilkan kadar darah dan efek yang sama pula. Bahkan
adakalanya tablet dari satu pabrik tapi berbeda batch dapat berbeda
BA-nya. Kesetaraan teurapetis dapat
didefinisikan sebagai kesetaraan pola kerjanya (kadar dan kecepatan resorpsi)
dari dua obat yang berisi zat aktif dengan dosis yang sama. Hal ini sangat
penting bagi obat yang luas terapinya sempit, yang aktivitasnya tergantung dari
kadar plasma yang tetap. Contohnya adalah digoksin, antikoagulansia, dan
deksametason. Yang terkenal adalah kesulitan klinis pada digoksin sebagai obat
jantung sekitar tahun 1972 ketika bentuk kristal digantikan dengan bentuk
amorf. Juga ternyata ada perbedaan kadar plasma antara tablet berbagai pabrik
yang sampai berbeda dua kali lipat meskipun semua tablet mengandung zat aktif
yang sama, yaitu 0,25 mg. Oleh karena itu, di AS dan Belanda, obat generik
diharuskan memenuhi persyaratan ketat mengenai antara lain identitas,kemurnian,
dan potensinya. Obat generik harus memperlihatkan efek klinis dan efek samping
yang setara dengan obat patennya dan demikian harus dapat menggantikannya pada
semua indikasi yang teregistrasi. “The Orange Book” yang diterbitkan Food
danDrug Administration (FDA) pada tahun 1980 berisi obat-obat resmi dengan
nilai kesetaraan terapeutis antara obat paten dengan obat-obat generiknya. Obat
yang setara secara terapeutis adalah ekivalen. Kode “AB” diberikan pada obat yang
memiliki kesetaraan farmasetis dan bio-ekivalensi dengan obat patennya. Nilai “A”
diberikan pada obat generik yang zat aktif dan dosisnya tepat identik dengan
obat paten yang bersangkutan. Nilai “B” diberikan pada sediaan obat yang tidak
atau belum dibuktikan tuntas mengenai kesetaraan terapeutisnya. Obat-obat ini
masih memerlukan penelitian lebih lanjut sebelum dapat ditingkatkan ke nilai
“A”. Pada banyak obat bebas yang sering digunakan, hal ini tidak menjadi
masalah karena luas terapinya cukup besar. Artinya jarak antara dosis terapi
dengan dosis toksisnya cukup besar sehingga nilai A atau B dari FDA tidak
merupakan risiko bagi kesehatan. Pada tahun 1982 FDA menerbitkan sebuah daftar
obat yang terbukti telah menimbulkan masalah mengenai bio-ekivalensinya
dan/atau BA-nya beserta penyebabnya. Penyebab tersering adalah kecepatan
disolusi yang terlalu lambat dari sediaan obat (tablet, kapsul). Keluhan bahwa
tablet asetosal sebagai obat generik ‘”kurang ampuh” dibanding aspirin, setelah
memahami masalah kesetaraan terapeutis dan bioekivalensi diatas adalah wajar.
Sebaliknya obat preskripsi dengan luas terapi sempit, mungkin dapat menimbulkan
efek samping yang serius. Oleh karena itu, disarankan agar selama terapi
berlangsung janganlah mengganti merek obat (keras) yang sedang digunakan. Saran
ini terutama berlaku bagi obat-obat keras dengan luas terapi sempit, seperti
antibiotika, antikoagulansia, anti-epileptika, digoksin, dan kortikosteroida.
Obat ini lazimnya digunakan dalam keadaan gawat dimana overdose atau underdose
dapat mengakibatkan situasi berbahaya.
d.
Bioassay dan Standardisasi
Kebanyakan obat dapat diukur kadarnya yang
kemungkinan setara dengan aktivitasnya secara cepat dan teliti dengan metode
kimiawi atau fisika, menggunakan alat, misalnya spektrofotometer
ultraviolet/infrared dan polarograf. Untuk obat yang struktur kimianya belum
diketahui dan untuk sediaan tak murni atau campuran dari beberapa zat aktif,
metode ini tidak dapat dilakukan. Obat-obat ini diukur dengan metode biologis,
yaitu melalui bio-assay, dimana aktivitas ditentukan oleh organisme hidup
(hewan, kuman) dengan membandingkan efek obat tersebut dengan efek suatu
standar internasional. Penentuan biologis dilakukan pada hewan, misalnya
insulin pada kelinci (pengukuran daya menurunkan kadar glukosa darah), ACTH
pada tikus dan digitalis terhadap jantung katak. Antibiotika diukur menggunakan
penghambatannya terhadap pertumbuhan kuman. Kesatuan Internasional atau IU
(International Unit) digunakan untuk
menyatakan kekuatan obat yang telah dipublikasikan oleh WHO bersama dengan
Standar Internasional Biologis. Standar ini disimpan di London dan Kopenhagen.
Bio-assay dan penggunaan satuan biologis umumnya ditinggalkan segera setelah
terwujud suatu metode fisiko-kimiawi, selanjutnya kadar dinyatakan dalam gram
atau milligram. Cara ini dilakukan pada tubokurarin (1955), kloramfenikol
(1956) dan penisilin (1960. Obat-obat yang dewasa ini masih distandardisasi
secara biologis adalah ACTH, antibiotika polimiksin dan basitrasin, vitamin A,
faktor pembeku darah, sediaan antigen dan antibody, digitalis, pirogen, dan
insulin (meskipun struktur kimia dan pemurniannya sudah diketahui).
e. Cara Pemberian obat
Disamping faktor
formulasi, cara pemberian obat turut menentukan kecepatan dan kelengkapan
resorpsi. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu efek sistemis (diseluruh
tubuh) atau efek lokal (setempat), keadaan pasien dan sifat-sifat fisikokimiawi
obat dapat dipilih banyak cara untuk memberikan obat.
1) Efek sistemis
a) oral
Pemberian obat melalui mulut adalah cara yang paling lazim digunakan
karena, sangat praktis, mudah dan aman. Seringkali resorpsi obat setelah
pemberian tidak teratur dan tidak lengkap, meskipun formulasinya optimal,
misalnya senyawa ammonium kwaterner (thiazinamium) kloksasilin dan digoksin
(maksimal 80%). Keberatan lain adalah obat setelah diresorpsi harus melalui
hati dimana dapat terjadi inaktivasi sebelum diedarkan ke tempat kerjanya.
Untuk mencapai efek lokal di usus dilakukan pemberian oral, misalnya
antibiotika untuk mensterilkan lambung-usus pada infeksi atau sebelum
pembedahan (streptomisin, kanamisin, neomisin) obat-obat ini justru tidak boleh
diserap, begitu pula zat-zat kontras rontgen guna membuat foto lambung-usus.
b) sublingual Obat diletakkan di bawah lidah (sublingual)
tempat berlangsungnya resorpsi oleh
selaput lender setempat ke dalam vena lidah yang sangat banyak di lokasi
ini. Keuntungan cara ini adalah obat langsung masuk ke peredaran darah tanpa
melalui hati. Oleh karena itu, cara ini dipilih jika efek yang cepat dan
lengkap diinginkan, misalnya pada serangan angina, asma atau migraine
(nitrogliserin, isoprenalin, ergotamine) keberatannya adalah kurang praktis
untuk digunakan terus-menerus dandapat merangsang mukosa mulut. Hanya obat
bersifat lipofil saja yang dapat diberikan dengan cara ini. injeksi Pemberian obat secara parenteral (berarti “di
luar usus”) biasanya dipilih jika diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap
atau untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh getah lambung (hormone) atau
tidakdiresorpsi oleh usus (streptomisin) begitu pula pada pasien yang tidak
sadar atau tidak mau bekerja sama. Keberatannya cara ini lebih mahal, nyeri
serta sukar dikerjakan sendiri oleh pasien. Selain itu, ada pula bahaya terkena
infeksi kuman (harus steril) dan bahaya merusak pembuluh darah atau saraf jika
tempat suntikan tidak tepat. d)
implantasi subkutan
Implantasi/subkutan adalah memasukkan obat yang berbentuk pellet steril
(tablet silindris kecil) ke bawah kulit dengan menggunakan suatu alat khusus (trocar).
Obat ini terutama digunakan untuk efek sistemis lama, misalnya hormone kelamin
(estradiol, testosterone). Akibat resorpsi yang lambat, satu pellet dapat
melepaskan zat aktifnya secara teratur selama 35 bulan atau bahkan ada obat
antihmil dengan lama kerja 3 tahun (Implanon, Norplant).
e) rektal
Rektal adalah pemberian obat melalui rectum (dubur) yang layak untuk
obat yang merangsang atau yang diuraikan oleh asam lambung, biasanya dalam
bentuk supositoria, kadang-kadang sebagai cairan (klisma 2-10 ml, lavemen
10-500 ml) Obat ini terutama digunakan pada pasien yang mual atau muntah-muntah
(mabuk jalan, migraine) atau yang terlampau sakit untuk menelan tablet.
Adakalanya juga untuk efek lokal yang cepat, misalnya laksan (suppose,
bisakodil/gliserin) dan klisma (prednisone, neomisin).
2) Efek lokal
Mukosa lambung-usus dan rektum, juga selaput lendir lainnya dalam tubuh,
dapat menyerap obat dengan baik dan menghasilkan terutama efek setempat.
- Intranasal Obat tetes hidung dapat digunakan pada selesma untuk menciutkan mukosa yang bengkak (efedrin, xylometazolin). Kadang-kadang obat juga diberikan untuk efek sistemisnya, misalnya vasopressin dan kortikosteroid (beklometason, flunisonida).
- Intra-okuler atau intra-aurikuler (dalam mata dan telinga) Obat berbentuk tetes atau salepyang digunakan untuk mengobati penyakit mata atau telinga. Pada penggunaan beberapa jenis obat tetes harus waspada karena obat dapat diresorpsi dan menimbulkan efek toksis, misalnya atropine.
Inhalasi
(intrapulmonal) Gas, zat terbang atau
larutan sering diberikan sebagai inhalasi (aerosol), yaitu obat yang
disemprotkan ke dalam mulut dengan alat aerosol. Semprotan obat dihirup dengan
udara dan resorpsi terjadi melalui mukosa mulut, tenggorokan, dan saluran
napas. Tanpa melalui hati, obat dengan cepat melalui peredaran darah dan
menghasilkan efeknya. Yang digunakan secara inhalasi adalah anestetika umum
(halotan) dan obat-obat asma
(isoprenalin, budesonide, dan beklometason) dengan maksud mencapai kadar
setempat yang tinggi dan memberikan efek terhadap bronkhia. Untuk maksud ini,
selain larutan obat juga dapat digunakan zat padatnya (turbuhaler) dalam
keadaan sangat halus (microfine), misalnya natrium kromoglikat, budesonide, dan
beklometason. d) Intravaginal Untuk mengobati gangguan vagina secara lokal
tersedia salep, tablet atau sejenis suppositoria vaginal (ovula) yang harus
dimasukkan kedalam vagina dan melarut di situ. Contohnya ialah metronidazole
pada vaginitis (radang vagina). Obat dapat pula digunakan sebagai cairan
bilasan, penggunaan lain adalah untuk mencegah kehamilan dimana zat spermisid
(dengan daya mematikan sperma) dimasukkan dalam bentuk tablet, busa atau krem.
e) Kulit (topical) Pada penyakit kulit obat yang digunakan
berupa salep, krem atau lotion (kocokan). Kulit yang sehat dan utuh sukar
sekali ditembus obat, tetapi resorpsi berlangsung lebih mudah bila ada
kerusakan. Efek sistemis yang menyusul kadang-kadang berbahaya, seperti dengan
kortikosteroida (kortison, betametason, dan lain-lain) terutama bila digunakan
dengan cara oklusi, artinya ditutup dengan plastik. Resorpsi dapat diperbaiki
dengan tambahan zat keratolitis dengan daya melarutkan lapisan tanduk dari
kulit, misalnya asam salisilat, urea, dan resorsin. Salep dan linimen (obat
gosok) banyak digunakan untuk meringankan rasa nyeri atau kaku otot akibat
rematik atau gangguan lain. Obat ini biasanya mengandung analgetika
(metilsalisilat, diklofenak, benzidamin, fenilbutason) dan zat terbang (mentol,
kanfer, minyak permen, minyak kayu putih).
Cara
terbaru adalah plester transdermal yang dilekatkan pada kulit dan sebaiknya
pada bagian dalam pergelangan tangan, di belakang telinga, atau tempat lain
dengan kulit tipis yang banyak mengandung pembuluh darah. Yang banyak digunakan
adalah TTS (Transdermal Terapeutic System), yaitu plester yang melepaskan obat
secara berangsurangsur dan teratur selama beberapa waktu dan langsung memasuki
darah. Contoh yang terkenal adalah obat mabuk jalan skopolsmin (Scopoderm),
obat anti-angina nitrogliserin (Nitroderm TTS) dan estradiol (Estraderm TTS).
Komentar
Posting Komentar