Gagal Ginjal Akut
GAGAL GINJAL AKUT
(Acute Renal Failure – Alih Bahasa, Harrison Principle
of Internal Medicine 16th Edition)
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan
suatu sindrom yang ditandai oleh adanya penurunan drastic pada glomerular
filtration rate (jam sampai hari), retensi limbah metabolisme nitrogen, dan
gangguan volume ekstraseluler dan homeostasis asam-basa. Persentasi GGA di
rawat inap yaitu 5% dan 30% pada ICU. Oliguria (output urin <
style=""> dibagi atas 3 kategori.
(1).
Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi pada ginjal tanpa kerusakan integritas
dari parenkim ginjal (GGA prerenal, prerenal azotemia) (~55%);
(2) Penyakit
yang secara langsung melibatkan parenkim renal (GGA renal, renal azotemia)
(~40%); dan
(3) Penyakit
yang berhubungan dengan sumbatan pada saluran kemih (GGA postrenal, postrenal
azotemia) (~5%).
Kebanyakan
GGA reversible, ginjal termasuk organ yang relatif unik diantara organ yang
lain dalam kemampuannya untuk sembuh dari fungsi yang menurun.Namun, GGA tetap
juga merupakan morbiditas dan mortalitas utama dalam rumah sakit akibat
beratnya penyakit penyebab GGA tersebut .
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
GGA PRERENAL (PRERENAL AZOTEMIA
GGA prerenal adalah bentuk paling
sering dari GGA dan memberikan respon fisiologik berupa hipoperfusi renal
ringan sampai sedang. GGA prerenal dapat reversible dengan cepat melalui
restorasi aliran darah ginjal dan tekanan ultrafiltasi glomerulus. Jaringan parenkim ginjal tidaklah rusak; dengan demikian,
ginjal dari individu dengan GGA prerenal berfungsi baik ketika dicangkok ke
dalam para penerima dengan fungsi kardiovasculer yang normal. Hypoperfusion
yang lebih berat dapat menyebabkan trauma iskemik dari parenkim ginjal dan
Renal GGA ( lihat di bawah). Jadi, GGA prerenal dan GGA renal akibat ischemia
menjadi bagian dari suatu spektrum hypoperfusion ginjal. GGA Prerenal dapat
mempersulit penyakit apapun yang mempengaruhi hypovolemia, berhubungan dengan
cardiac output yang rendah, vasodilatasi sistemik, atau vasokonstriksi selektif
intrarenal.
Hypovolemia akan
menyebabkan penurunan tekanan arterial sistemik, dimana dideteksi sebagai
berkurangnya regangan arterial dan cardiac baroreseptor. Baroreceptor yang
aktif memicu suatu respon neurohormonal yang dirancang untuk mengembalikan
volume darah dan tekanan arterial. Ini meliputi pengaktifan dari sistem
simpatik renin-angiotensin-aldosterone dan pelepasan arginine vasopressin (AVP;
dahulu dikatakan sebagai Antidiuretik Hormone). Norepinephrine, angiotensin II,
dan AVP berkolaborasi dalam usaha untuk menjaga perfusi otak dan jantung dengan
merangsang vasokonstriksi pada sirkuit vaskuler "nonesensial",
seperti musculocutaneous dan peredaran splanchnic, mencegah pelepasan natrium
yang menghambat melalui keringat, merangsang haus, dan dengan memicu retensi
natrium dan air. Perfusi glomerulus, tekanan ultrafiltrasi, dan tingkat
filtrasi selama hypoperfusion yang ringan dijaga melalui beberapa mekanisme
kompensasi. Reseptor regangan
dalam arteriol afferent, sebagai respon atas suatu pengurangan tekanan
perfusion, mencetuskan vasodilatasi arteriol afferent melalui suatu refleks
myogenik lokal ( autoregulasi). Biosynthesis dari vasodilator prostaglandins (
e.g., prostaglandin E2 dan prostacyclin) juga ditingkatkan, dan campuran ini
cenderung melebarkan arteriol aferen. Sebagai tambahan, angiotensin II
cenderung menyebabkan vasokonstriksi arteriol eferen. Sebagai hasilnya, tekanan
intraglomerular terjaga, fraksi plasma yang mengalir melalui kapiler glomerular
yang tersaring akan ditingkatkan ( fraksi filtrasi), dan glomerular filtration
rate (GFR) dipertahankan. Pada keadaan hypoperfusion yang lebih berat, respon
kompensasi ini dapat gagal dan GFR menurun, dan mengarah kepada GGA prerenal
Autoregulasi
dari dilatasi arteriol afferent maksimal pada tekanan arterial sistemik
setinggi ~ 80 mmHg, dan hipotensi di bawah angka ini berhubungan dengan suatu
kemunduran yang drastis dari GFR. Derajat hipotensi yang lebih rendah dapat
menimbulkan GGA prerenal pada orang tua dan pada pasien dengan penyakit yang
mempengaruhi integritas arteriol afferent (misal, hypertensive nephrosclerosis,
vasculopathy diabetik). Sebagai tambahan, obat
yang mempengaruhi respon adaptif pada microsirkulasi ginjal dapat merubah
hypoperfusion ginjal terkompensasi menjadi GGA prerenal yang jelas atau memicu
GGA prerenal menjadi GGA ischemic intrarenal. Obat-obat inhibitor dari baik
biosintesis renal prostaglandin [ penghambat cyclooxygenase ; nonsteroidal
antiinflamation drugs( NSAIDS)] atau inhibitor angiotensin-converting enzim
(ACE Inhibitor) dan reseptor angiotensin II blockers adalah penyebab yang utama
dan harus digunakan secara hati-hati pada keadaan yang dicurigai dapat terjadi
hipoperfusi ginjal. NSAIDS tidak mempengaruhi GFR pada individu yang sehat
tetapi dapat mempercepat GGA prerenal pada pasien dengan penurunan volume
cairan atau pada insufisiensi renal kronis dimana GFR terjaga oleh
hiperfiltrasi yang dimediasi prostaglandin oleh nefron fungsional yang terisa.
penghambat ACE harus digunakan dengan bijaksana pada pasien dengan stenosis
arteri ginjal bilateral atau stenosis unilateral dimana hanya satu ginjal yang
berfungsi. Pada keadaan ini, perfusi dan filtrasi glomerular sangat dipengaruhi
oleh angiotensin II. Angiotensin II memelihara tekanan filtrasi glomerular
distal ke stenosis dengan peningkatan tekanan arterial systemic dan dengan
mencetuskan konstriksi selektif pada arteriol. Penghambat ACE dapat
memperlambat respon ini dan mempercepat GGA, namun umumnya reversibel, pada
~30% kasus.
Hepatorenal Syndrome ini
adalah suatu bentuk agresif dari GGA, dengan banyak bentuk dari GGA prerenal,
yang sering mempersulit kegagalan hepatik akibat cirrhosis atau penyakit hati
berat lainnya, mencakup keganasan, reseksi hepatik, dan obstruksi bilier. Pada
sindrom hepatorenal yang berat, GGA berkembang walaupun telah terjadi optimisasi
hemodinamika sistemik dan memiliki tingkat kematian sebesar >90%.
GGA INTRINSIC RENAL (INTRINSIC RENAL
AZOTEMIA)
GGA renal dapat mempersulit beragam penyakit berbeda pada parenkim ginjal
itu sendiri. Dari sudut pandang klinikopathologis, dapat berguna untuk membagi
penyebab GGA renal ke dalam (1) penyakit dari pembuluh darah besar ginjal, (2)
penyakit dari mikrosirkulas ginjal dan glomeruli, (3) GGA ischemic dan akibat
nephrotoxic, dan (4) radang tubulointerstitial. GGA renal paling sering
dicetuskan oleh ischemia ( GGA yang ischemic) atau nephrotoxins ( GGA yang
nephrotoxic), yang secara sederhana menimbulkan acute tubular necrosis ( ATN).
Maka, pada umumnya penggunaan istilah GGA dan ATN dapat dipertukarkan pada
keadaan seperti ini. Bagaimanapun, sebanyak 20 sampai 30% dari pasien dengan
GGA ischemic atau nephrotoxic tidak mempunyai tanda klinis atau bukti
morphologis dari nekrosis tubuler, menggarisbawahi peran dari trauma sublethal
pada epithelium tubuler dan kerusakan lain pada sel ginjal yang lain (
misal,sel endothelial ) pada pathophysiology dari sindrom ini.
Etiologi and
Pathophysiologi GGA iskemik .
GGA
prerenal dan GGA iskemik menjadi bagian dari spektrum bentuk hipoperfusi
ginjal. GGA iskemik berbeda dengan GGA prerenal dalam arti bahwa hipoperfusi
memicu trauma ischemic pada sel parenkim ginjal, terutama epithelium tubuler,
dan penyembuhan biasanya memerlukan 1 sampai 2 minggu setelah normalisasi
perfusi ginjal sebagaimana diperlukan regenerasi dan perbaikan sel ginjal.
Dalam bentuk paling ekstrim nya, ischemia mengarah kepada bilateral nekrosis
korteks renal dan gagal ginjal irreversibel. GGA iskemik terjadi paling sering
pada pasien yang menjalani operasi kardiovasculer besar atau menderita trauma
yang berat, perdarahan, sepsis, dan/atau kekurangan cairan tubuh. GGA iskemik
dapat juga mempersulit bentuk ringan hypovolemia yang nyata atau penurunan
efektifitas volume arterial darah jika terjadi bersamaan dengan trauma lainnya
(misal, nephrotoxins atau sepsis) atau pada pasien dengan mekanisme pertahanan
autoregulator yang menurun atau dengan riwayat penyakit ginjal sebelumnya.
Keadaan
GGA iskemik ditandai oleh tiga fase: inisiasi, pemeliharaan, dan tahap
penyembuhan. Tahap inisiasi ( jam sampai hari) adalah periode awal dari
hipoperfusi ginjal terjadi selama trauma iskemik sedang berkembang. GFR merosot
sebab (1) tekanan ultrafiltrasi glomerular dikurangi sebagai konsekwensi dari
rendahnya aliran darah ginjal, (2) aliran saringan glomerulus di dalam tubulus
dihalangi oleh serpihan-serpihan yang terdiri atas sel epithelial dan bekas
limbah nekrotik yang berasal dari tubulus dan epithelium, dan adanya kebocoran
filtrasi glomerular melalui luka epithelium tubuler. Trauma iskemik adalah
paling sering pada bagian terminal meduler dari proximal tubule ( Segmen S3,
pars recta) dan bagian meduler dari ascending loop of Henle. Kedua segmen
mempunyai tingkat transpor aktif larutan dan konsumsi oksigen yang tinggi dan
terletak pada area ginjal yang rentan ischemic, meski dalam kondisi-kondisi
basal, oleh pengaturan aliran balik yang unik pada vasculatur meduler. Iskemik
seluler mengakibatkan satu rangkaian perubahan transpor ion dan integritas
membran yang pada akhirnya mengarah pada trauma sel dan, jika berat dapat
menyebabkan apoptosis dan nekrosis sel
Perubahan
ini meliputi penghabisan ATP, inhibisi pengangkutan sodium aktif dan transpor
larutan lainnya, kerusakan dari regulasi sel dan pembengkakan sel, gangguan
cytoskeletal dan hilangnya polaritas sel, pemasangan matriks-sel dan sel-sel,
akumulasi kalsium intracellular, perubahan metabolisme phospholipid,
pembentukan radikal oksigen bebas, dan peroxidasi membran lipids. Sangat
penting trauma ginjal dapat diatasi dengan pengembalian alirah darah ginjal
selama periode ini.
Tahap inisiasi dilanjutkan oleh suatu tahap
pemeliharaan ( biasanya 1 sampai 2 minggu). selama sel ginjal yang trauma
dibentuk kembali, GFR menstabilkan pada titik terendah nya (umumnya 5 sampai 10
mL/min), keluaran urin paling rendah, dan komplikasi uremik muncul. Alasan
mengapa GFR tetap rendah selama tahap ini walaupun dengan koreksi dari
hemodinamika sistemik belum dapat dijelaskan. Mekanisme yang dipercayai
meliputi vasoconstriction intrarenal persisten dan ischemia meduler dicetuskan
oleh pelepasan mediator vasoaktif yang tidak teregulasi akibat kerusakan sel
endothelial ( e.g., penurunan nitritoxide, peningkatan endothelin-1, adenosine,
dan platelet-activating factor), kongesti pembuluh darah meduller, dan trauma
reperfusion yang dipicu oleh sejenis oksigen reaktif dan mediator lain yang
berasal dari leukocytes atau sel parenkim ginjal. Sebagai tambahan, sel epithelial yang cedera per se dapat berperan dalam
vasokonstriksi persiten melalui suatu proses yang disebut umpan balik
tubuloglomerulal. Sel epitel khusus pada daerah macula densa pada
tubulus distal mendeteksi peningkatan transport natrium yang terjadi sebagai
konsekuensi dari kerusakan reabsorbsi dari segmen proximal nefron. Sel macula
densa kemudian merangsang konstriksi dari arteriol aferen sekitar dengan
mekanisme yang kurang dimengerti dan kemudian mengurangi perfusi glomerular dan
filtrasinya, sehingga memperparah keadaan. Fase penyembuhan ditandai dengan
perbaikan dan regenerasi dari sel parenkim ginjal, terutama sel epitel tubuler
dan secara perlahan GFR menjadi normal atau kembali pada kadar premorbid. Fase
penyembuhan ini dapat dipersulit oleh adanya peningkatan fase diuretik akibat
eksresi dari natrium , air, dan larutan lain yang tadinya tertahan, penggunaan
lanjut dari diuretic, atau terlambatnya fungsi sel epitel (untuk reabsorbsi
larutan dan air)
Patofisiologi dan Etiologi GGA
Nephrotoksik
GGA
renal intrinsic akut dapat terjadi akibat paparan berbagai agen farmakologik.
Paling banyak yaitu nephrotoxins, insiden GGA meningkat pada lanjut usia dan
pasien dengan insufisiensi ginjal kronis, hypovolemia nyata atau papararan
terhadap toxin yang lain
Vasokonstriksi
intrarenal merupakan kejadian awal pada GGA yang dipicu oleh radiocontrast,
siklosporin, dan tacrolimus. Sehubungan dengan patofisiologi ini, agen tersebut
memicu GGA yang memiliki kemiripan dengan GGA prerenal: yaitu penurunan akut
dari aliran darah ginjal dan GFR2, sedimen urin yang
relatif ringan, dan eksresi natrium yang rendah. Kasus berat dapat
memperlihatkan bukti klinis atau patologik dari adanya ATN(3). Nefropati
toksik akibat zat kontras umumnya memperlihatkan peningkatan akut (onset 24-48
jam) dari BUN dan kreatinin namun reversibel (resolusi dalam 1 minggu) dan
paling umum terjadi pada individu dengan insufisensi renal kronik, DM, CHF,
hipovolemik, atau myeloma multipel. Sindrom ini sepertinya terkait dengan dosis
dan insidennya sedikit berkurang pada individu resiko tinggi dengan memakai
agen kontras yang lebih mahal, nonionik kontras
Toksisitas
langsung terhadap sel epitel tubuler dan atau obstruksi intratubuler adalah
kejadian patofisiologis utama pada GGA yang disebabkan oleh antibiotik dan
antikanker. Zat yang sering merusak adalah agen antimicrobial seperti
acyclovir, foscarnet, aminoglikosida, amphotericin B, dan pentamidini, dan agen
kemoterapi seperti cisplatin, carboplatin, dan ifosfamide. GGA terjadi pada 10
sampai 30% penggunaan aminoglikosida walaupun dengan kadar terapeutik.
Amfoterisin B menyebabkan GGA- terkait dosis melalui vasokonstriksi intrarenal
dan toksisitas langsung pada epitel tubulus. Cisplatin dan carboplatin seperti
aminoglikosida terkumpul oleh sel tubulus proksimalis dan memprovokasi GGA
setelah 7 hingga 10 hari dari paparan dengan cara merusak mitokondria, inhibisi
dari aktivitas ATPase, transpor larutan, trauma yang dimediasi radikal bebas
terhadap membran sel, apoptosis, dan nekrosis
Nephrotoxin endogen yang paling umum
adalah kalsium, myoglobin, hemoglobin, urat, oxalate, dan myeloma rantai
ringan. Hyperkalsemia dapat menurunkan GFR(2), kebanyakan dengan
memicu vasokonstriksi intrarenal. Deposisi kalsium fosfat didalam ginjal juga
berkontribusi. Rhabdomyolisis dan hemolisis dapat memicu GGA, umumnya pada
pasien dengan hipovolemik atau asidosis. Myoglobinuric GGA terjadi kurang lebih
30% kasus dari rhabdomyolisis. Kasus umum ini termasuk cedera trauma tabrakan,
iskemia otot akut, kejang, olahraga berlebihan, heat stroke, atau gangguan
metabolisme. GGA akibat hemolisis biasanya jarang dan diperlihatkan dari reaksi
pada transfuse darah yang massif. Telah menjadi postulat bahwa myoglobin dan
hemoglobin atau komponen lain yang dilepaskan oleh otot atau sel darah merah
menimbulkan GGA melalui efek toksik pada sel epitel tubuler, dengan mempromosi
stress oksidatif pada intrarenal dan dengan memicu pembentukan serpihan padat
intratubuler. Hipovolemia atau asidosis dapat berkontribusi pada patogenesis
GGA dalam keadaan ini dengan pembentukan serpihan padat intratubuler.
Sebagai tambahan,
hemoglobin dan myoglobin adalah penghambat yang kuat dari bioactivitas
nitrit-oxide dan dapat mencetuskan vasokonstriksi intrarenal dan inskemik pada
pasien dengan hypoperfusion ringan. Serpihan padat intratubuler ini
mengandung immunoglobulin rantai ringan dan protein lainnya, termasuk
Tamm-Horsfall protein yang diproduksi oleh sel thick ascending limb , yang
merupakan pemicu utama terjadinya GGA pada pasien dengan multiple (myeloma cast
nephropathy). Sebagai tambahan, rantai ringan dapat secara langsung menjadi
racun untuk sel epithelial tubuler. Obstruksi intratubuler juga merupakan sebab
penting terjadinya GGA pada pasien dengan hyperuricosuria atau hyperoxaluria.
Nephropati asam urat akut biasanya muncul pada pengobatan gangguan
lymphoproliferative atau myeloproliferative namun lebih sering terjadi akibat
hyperurisemia jika urin terkonsentrasi.
Pathologi dari GGA Iskemik (1)
Gambaran patologis klasik dari GGA
iskemik yaitu nekrosis fokal dari epitel tubuler dengan adanya pelepasan dari
membran dasarnya dan oklusi lumen tubulus oleh serpihan padat yang terbentuk
dari sel epitel yang degenerasi, debris seluler, Tamm-Horsfall mucoprotein, dan
pigmen. Akumulasi lekosit juga sering telrihat pada vasa recta, namun
morphologis dari glomeruli dan vasculature ginjal biasanya normal. Necrosis
paling parah terlihat pada bagian pars recta dari tubulus proksimalis namun
dapat juga terdapat pada bagian meduler dari thick ascending limb pada loop of
Henle.
Pada GGA nephrotoksik, perubahan
morfologis cenderung terlihat jelas baik pada convoluted dan pars recta tubulus
proksimalis. Nekrosis sel tubuler lebih jarang terlihat dibandingkan GGA
iskemik.
Penyebab lain GGA Renal.
Pasien
dengan atherosclerosis berat dapat mengalami GGA setelah manipulasi aorta atau
arteri renalis pada saat operasi atau angiography, setelah suatu trauma, atau
yang lebih jarang, adanya embolisasi kristal kolesterol pada pembuluh darah
ginjal (atheroembolic GGA). Kristal kolesterol tersumbat di dalam lumen arteri
berukuran kecil atau sedang. Kemudian memicu reaksi sel giant dan reaksi
fibrosis di dalam dinding pembuluh darah dengan penyempitan atau penyumbatan
dari lumen pembuluh darah. Atheroembolic GGA biasanya ireversibel.
Sangat
banyak struktur agen pharmalogis yang memicu GGA akibat reaksi
hipersensitivitas berupa interstitial nephritis, suatu penyakit yang ditandai
dengan adanya infiltrate pada tubulointerstritium berupa granulosit (biasanya
namun tidak selalu, eosinophils), makrofag, dan/atau limfosit dan dengan
interstitial oedema. Obat yang tersering adalah antibiotic seperti penicillins,
cephalosporins, trimethoprim, sulfonamides, rifampicin dan NSAID (4)
GGA POSTRENAL
Prevalensi bstruksi saluran kemih
sebagai penyebab GGA kurang dari 5% kasus GGA. Hal ini dikarenakan ginjal
mempunyai kapasitas klirens untuk mengeksresi produk limbah nitrogenous setiap
harinya, GGA akibat obstruksi hanya terjadi jika terdapat sumbatan aliran urin
dari urethral meatus externum dan kandung kemih, obstruksi bilateral ureter,
atau sumbatan ureter unilateral pada pasien dengan 1 ginjal yang
berfungsi.Obstruksi buli-buli merupakan sebab umum terjadinya GGA postrenal dan
biasanya disebabkan oleh penyakit prostate (seperti Bengn Prostat Hypertrophy,
tumor, atau infeksi). Penyebab yang lebih jarang yaitu obstruksi saluran kemih
bagian bawah termasuk bekuan darah, calculus, dan urtheritis disertai spasme.
Obstruksi ureter dapat disebabkan oleh obstruksi intraluminal (kalkulus),
infiltrasi dinding ureter (neoplasia) atau kompresi eksternal (retroperitoneal
fibrosis, neoplasia, atau abses) Selama tahap awal obstruksi (jam sampai hari),
filtrasi glomerulus yang berkontinu akan meningkatkan tekanan intraluminal di
atas dari lokasi obstruksi. Sebagai hasilnya, terjadi distensi berangsur dai
ureter proksimal, renal pelvis, dan calyces, dan penurunan pada GFR(2).
Obstruksi akut mulanya berkaitan dengan peningkatan ringan aliran darah ginjal
namun vasokonstriksi arteriolar segera terjadi mendadak, mengarahkan pada
penurunan filtrasi glomerulus lebih lanjut.
MANIFESTASI KLINIS DAN DIFERENSIAL
DIAGNOSIS
Pasien yang datang dengan gagal
ginjal sebaiknya segera diniliai untuk menentukan penurunan pada GFR apakah
perjalanannya akut atau sudah kronis. Proses akut dengan mudah ditentukan jika
pemeriksaan laboratorium sebelumnya memperlihatkan peningkatan dari kadar blood
ureum nitrogen dan creatinin, namun pengukuran sebelumnya tidak selalu
tersedia. Penemuan yang memperlihatkan keadaan gagal ginjal kronis termasuk
anemia, neuropati, dan bukti radiologis adanya osteodistrophi ginjal atau
ginjal berukuran kecil dengan jaringan parut. Namun, harus diketahui bahwa
anemia juga dapat ditemukan pada GGA dan ukuran ginjal normal arau lebih
sedikit besar dibandingkan ginjal pada beberapa penyakit ginjal kronis
(nephropaty diabetic, amyloidosis, dan polycystic kidney disease). Setelah
diagnosis GGA ditegakkan, beberapa hal perlu ditentukan segera: (1)
identifikasi penyebab dari GGA, (2) eliminasi dari zat-zat pemicu (nephrotoxin)
dan/atau prosedur terapi spesifik dan (3) pencegahan dan penatalaksanaan
komplikasi uremik.
PENILAIAN KLINIS
Petunjuk klinis pada GGA prerenal
adalah gejala kehausan dan pusing pada saat berdiri tegak dan bukti pemeriksaan
fisis berupa adanya hipotensi orthostatic dan tachycardia, penurunan tekanan
vena jugularis, penurunan turgor kulit, membrane mukosa yang kering, dan
berkurangnya keringat pada aksiler. Riwayat adanya penurunan progresif dari
produksi urin dan berat badan serta riwayat penggunaan NSAID (4) ,
ACE Inhibitor (5), atau angiotensin reseptor blocker. Dari
pemeriksaan klinis secara seksama akan dapat terlihat stigmata dari penyakit
hati kronis dan hipertensi portal, gagal jantung, sepsis, atau penyebab lain
yang mengurangi volume darah arterial efektif
GGA renal akibat iskemik biasanya
terjadi setelah adanya hipoperfusi ginjal berat akibat hipovolemic atau septic
shock atau setelah operasi besar. Kemungkinan GGA iskemik akan dapat berkembang
lebih jauh jika GGA menetap walaupun terdapat normalisasi hemodinamika
sistemik. Diagnosis dari GGA akibat nephrotoxic membutuhkan peninjauan terhadap
data klinis, farmakologis, perawatan, dan riwayat radiology sebagai suatu bukti
terhadap paparan dari pengobatan nephrotoxin atau agen radiokontras atau
terhadap toxin endogen (myoglobin, hemoglobin, asam urat, protein myeloma, atau
peningkatan kalsium dalam serum).
Walaupun persentasi GGA iskemik dan
nephrotoxic 90% dari kasus GGA renal, penyakit parenkim ginjal yang lain juga
patut dipertimbangkan. Nyeri pinggul juga merupakan gejala umum akibat adanya
oklusi dari arteri atau vena ginjal dan dengan penyakit parenkim ginjal yang
membuat kapsul ginjal distensi (glomerulonephritis berat dan pyelonephritis).
Nodul subcutaneous, livedo retikularis, plaq oranye retinal arteriolar, nadi
kaki yang teraba merupakan tanda dari adanya atheroembolization. GGA yang
berhubungan dengan oligouria, edema, hipertensi, dan sediment urin ‘aktif’
(sindrom nefritik) menunjukkan adanya glomerulonephritis atau vaskulitis.
Hipertensi malignan sepertinya juga penyebab GGA pada pasien dengan hipertensi
yang berat dan bukti adanya kerusakan akibat hipertensi pada organ lain (left
ventricular hypertrofi, retinopati hipertensif, papiledema, atau gangguan
neurologist). Demam, arthralgia, dan bercak eritematous yang gatal terjadi
setelah paparan obat yang menyebabkan adanya interstitial nephritis allergic,
walaupun tanda dari hipersensitivitas sistemik biasanya tak muncul
GGA postrenal memperlihatkan gejala
nyeri pada suprapubik dan pinggul akibat distensi dari buli-buli dan pada
saluran pengumpulan urin di ginjal serta kapsul ginjal. Nyeri kolik pinggul
yang dapat merambat ke pangkal paha menunjukkan suatu obstruksi akut ureter.
Penyakit prostat diduga jika terdapat riwayat nokturia, frekuensi, dan
hesitansi serta pembesaran atau indurasi dari prostate pada pemeriksaan rectal.
Neurogenik bladder dicurigai terjadi pada pasien yang mngkonsumsi obat-obatan
antikolinergik atau adanya bukti klinis disfungsi autonom. Diagnosis definitif
dari GGA postrenal sangat bergantung pada investigasi radiologik dan respon
penyembuhan yang cepat setelah hilangnya sumbatan.
URINALYSIS
Anuria memberi informasi adanya
sumbatan total namun dapat merupakan penanda beberapa kasus GGA prerenal dan
renal. Output urin yang berfluktuasi menimbulkan kemungkinan adanya obstruksi
intermitten dimana terdapat pasien dengan obstruksi saluran kemih parsial
mengalami poliuria akibat gangguan mekanisme mengkonsentrasi urin.
Pada GGA prerenal, sediment bersifat
aseluler dan mengandung serpihan hyaline transparan (urin sediment “jinak,
“inaktif”, dan “lemah”). Serpihan jyalin terbentuk pada urin yang tekonsentrasi
dari unsur normal pembentuk urin – utamanya protein Tamm-Horsfall, dimana
disekresi oleh sel epithelial dari Loop of henle. Terdapat juga GGA postrenal
dengan sediment inaktif, walaupun hematuria dan pyuria umum pada pasien dengan
obstruksi intralumen atau penyakit prostat serpihan berpigmen “coklat lumpur”
dan serpihan yang mengandung sel epitel tubulus adalah tanda dari ATN (6)
dan dapat juga menunjukkan adanya GGA iskemik atau nefrotoksik. Serpihan ini
biasanya ditemukan berkaitan dengan hematuria mikroskopik atau pada proteinuria
“tubuler” ringan (<1g/dl). style=""> serpihan granuler yang
umum adalah ciri dari penyakit ginjal kronis dan kemungkinan menunjukkan adanya
fibrosis interstitial dan dilatasi tubulus. Jika dilakukan dengan pewarnaan
Hansel’s, eosinophilria (>5% dari leukosit) umum ditemukan (~90%) pada
nephritis interstitial allergic yang disebabkan oleh antibiotic. Tetapi
lymphosit lebih dominant pada nephritis interstitial allergic akibar NSAIDs.
Eosinophilluria merupakan tanda dari GGA atheroembolic. Kristal asam urat
sering ditemukan pada urin terkonsentrasi pada GGA prerenal namun juga
menunjukkan adanya nephropaty urat akut jika ditemukan dalam jumlah yang besar.
Kristal oxalat dan hippurat meningkatkan kemungkinan keracunan ethylene glycol.
Proteinuria dengan >1 g/dl memberitahukan
adanya kerusakan pada glomerular ultrafiltration barrier (proteinuria
glomerular) atau eksresi dari myeloma rantai ringan. Yang terakhir tidak
terdeteksi dengan dipstick biasa (yang mendeteksi albumin) dan harus direndam
di asam sulfosalisilat atau tes immunoelectrophoresis. Proteinuria berat juga
sering ditemukan (~80%) pada pasien yang mengalami interstitial nephritis
allergic dan glomerulopathy kelainan minimal jika mengkonsumsi NSAIDs. Keadaan
serupa dapat dipicu oleh pemberian ampicilin, rifampisin, atau interferon A.
Hemoglobinuria atau myoglobunuria harus dipertimbangkan jika tes dipstick
menunjukkan positif kuat pada heme namun mengandung sedikit sel darah merah dan
jika supernatant dari urin yang tersentrifugal positif heme bebas. Bilirubinuria
memberikan petunjuk akan adanya sindrom hepatorenal.
TANDA KEGAGALAN GINJAL
Analisis urin dan kimia darah sangat
penting untuk membedakan antara GGA prerenal dan GGA iskemik dan nephrotoksik
yang merupakan GGA renal. Fraksi eksresi sodium (FENa) paling berguna dalam hal
ini. FENa menghubungkan antara klirens natrium terhadap klirens kreatinin.
Natrium banyak direabsorbsi oleh filtrasi glomerulus pada pasien dengan GGA
prerenal sebagai usaha untuk mempertahankan volume intravaskuler tetapi tidak
pada GGA renal akibat adanya kerusakan dari sel epitel tubulus. Kontrasnya,
kreatinin tidak di reabsorbsi pada kedua keadaan tersebut. Konsekuensinya,
pasien dengan GGA prerenal biasanya mempunyai kadar FENa <1%>1% indeks
kegagalan ginjal memperlihatkan perbandingan informasi karena variasi klinis
dari konsentrasi natrium serum relative kurang. Konsentrasi natrium pada urin
kurang sensitive untuk membedakan antara GGA prerenal dari GGA iskemik dan
nephrotoksik dikarenakan nilai yang sama pada keduanya. Tidak jauh beda,
indikator kemampuan mengkonsentrasikan urin seperti berat jenis, osmolalitas,
rasio urea urin-plasma, dan rasio ureum-kreatinin, informasinya terbatas untuk
menentukan differensial diagnosis
Perhatian lebih diberlakukan jika
terdapat informasi kimiawi atas kegagalan ginjal. FENa dapat >1% pada GGA prerenal jika pasien mengkonsumsi diuretik,
bicarbonaturia (bersamaan dengan natrium untuk mempertahankan
electronetralitas), gagal ginjal kronis yang dipersulit oleh natrium wasting,
atau insufisiensi adrenal. Kontrasnya, FENa <1%>
LABORATORIUM
Pengukuran kreatinin serum berulang
dapat memberikan informasi penyebab GGA. GGA prerenal ditandai dengan kadar
berfluktuasi yang parallel dengan perubahan fungsi hemodinamik. Kreatinin
meningkat drastis (24 sampai 48 jam) pada pasien dengan GGA akibat iskemik,
atheroembolisasi, dan paparan kontras radiologik. Kadar kreatinin puncak dapat
terlihat setelah 3 sampai 5 hari pada nephropati kontras dan kembali pada kadar
dasar setelah 5 sampai 7 hari. Sebaliknya, pada GGA iskemik dan penyakit
atheroembolic, kadar kreatinin mencapai puncak setelah 7 sampai 10 hari.
Peningkatan awal kreatinin serum biasanya muncul setelah 2 minggu terapi
aminoglikosida dan cisplatin dan kemungkinan menunjukkan dibutuhkannya
akumulasi zat ini dalam sel sebelum GFR menurun
Hyperkalenia, hyperphospatenia,
hypocalcemia, dan peningkatan asam urat serum dan kadar kreatinin kinase
menunjukkan diagnosis rhabdomyolisis. Hyperuricemia [>890 umol/L (>15
mg/dL)] yang berkaitan dengan hyperkalemia, hyperphosphatemia, dan peningkatan
kadar peredaran enzim intraseluler seperti laktat dehidrogenase mengindikasikan
adanya nephropaty urat akut dan tumor lysis syndrome setelah menjalani
kemoterapi. Anion serum dan osmolal gap yang luas (osmolalitas serum terukur
dikurangi dengan osmolaltas serum yang dihitung dari konsentrasi natrium,
glukosa, dan ureum) mengindikasikan adanya anion atau osmole yang tidak
biasanya dalam sirkulasi dan merupakan tanda dari keracunan ethylene glycol
atau methanol. Anemia berat tanpa disertai perdarahan meningkatkan kemungkinan
adanya hemolisis, multiple myeloma, atau microangiopathi trombotik. Eosinofilia
sistemik menandakan adanya nephritis interstitial allergic dan juga tanda
penyakit atheroembolic dan polyangiitis nodosa.
PENEMUAN RADIOLOGIK
Pencitraan saluran kemih dengan USG
sangat berguna menyingkirkan diagnosis GGA postrenal. CT-Scan dan MRI merupakan
modalitas alternative yang dapat digunakan. Dimana dilatasi pelvicaliceal
sering terjadi pada obstruksi saluran kemih (~98% sensitivitas), dilatasi dapat
tidak ditemukan pada permulaan obstruksi dan pada penekanan diluar sistem
ureter (missal pada fibrosis retriperitoneal dan neoplasia). Retrograde
pyelography adalah investigasi yang lebih definitive pada kasus yang kompleks dan
memberikan lokalisasi spesifik lokasi obstruksi. Foto polos abdomen, dengan
tomography jika perlu, adalah teknik skrining awal pada pasien yang dicurigai
mempunyai batu saluran kemih. USG Doppler dan magnetic resonance angiography
berguna untuk menilai keadaan arteri dan vena ginjal pada pasien yang dicurigai
adanya obstruksi vaskulet, bagaimanapun angiographi dengan kontras biasanya
dibutuhkan untuk diagnosis definitif.
BIOPSI GINJAL
Biopsi hanya dilakukan pada keadaan
dimana kemungkinan diagnosis GGA postrenal dan prerenal telah disingkirkan dan
penyebab dari GGA renal belum diketahui. Biopsi ginjal penting pada saat
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan diagnosis selain
trauma iskemik atau nephrotoksik yang kemudian dapat menjadi pedoman terapi
khusus untuk penyakit tersebut. Misalnya glomerulonephritis, vasculitis,
sindrom hemolitik-uremik, purpura thrombotik thrombositopenia, dan interstitial
nephritis allergic.
KOMPLIKASI
GGA mengganggu eksresi natrium,
kalium, dan air dan merusak homeostasis divalensi kation serta mekanisme
pengasaman urine. Akibatnya, GGA sering mempersulit volume overload pada
intravaskuler, hyponatremia, hyperkalemia, hyperphosphatemia, hypocalcemia,
hypermagnesemia, dan asidosis metabolik. Sebagai tambahan, pasien tidak dapat
mengeskresi produk limbah nitrogen dan cenderung terkena syndrome uremik.
Kecepatan dari perkembangan dan keparahan dari komplikasi ini memperlihatkan
derajat kerusakan ginjal dan keadaan katabolisme dari pasien.
Ekspansi volume cairan extraseluler
merupakan suatu konsekuensi mutlak dari berkurangnya eksresi air dan natrium
pada pasien anuria atau oligouria. Dimana bentuk yang lebih ringan ditandai
dengan peningkatan berat badan, rales paru, peningkatan tekanan vena jugular,
dan edema. Ekspansi volume berkelanjutan dapat mempresipitasi edema pulmoner
yang berbahaya. Hypervolemia dapat menjadi dilemma pada pasien yang sedang
menjalani pengobatan intravena dan nutrisi enteral atau parenteral. Pemberian
berlebihan air baik dengan cara biasa maupun dengan nasogastrik tube dan
pemberian intravena larutan hipotonik atau larutan dekstrose isotonic dapat
menyebabkan hipoosmolaliti dan hiponatremia, dimana jika parah dapat
menyebabkan edema serebral dan abnormalitas neurologis termasuk kejang.
Hyperkalemia
merupakan komplikasi yang sering terjadi pada GGA. Serum kalium biasanya
meningkat 0,5 mmol/L per hari pada pasien anuri/oligouri akibat gangguan
eksresi kalium yang diinfus dan kalium yang dilepaskan dari jaringan yang
cedera. Asidosis metabolik yang telah ada sebelumnya dapat mengeksaserbasi
hiperkalemia karena adanya effluks kalium dari sel. Hyperkalemia dapat menjadi
parah, bahkan pada saat diagnosis pasien rhabdomyolisis, hemolisis, dan tumor
lysis syndrome. Hyperkalemia ringan (<6.0>
Metabolisme
dari asupan protein memberikan 50 hingga 100 mmol/hari asam nonvotil yang
secara normal dieksresi oleh ginjal. Konsekuensinya GGA juga biasanya disertai
dengan komplikasi asidosis metabolik, sering dengan peningkatan serum anion
gap. Asidosis dapat menjadi parah jika produksi endogen dari ion hidrogen
meningkat akibat mekanisme lainnya (misalnya ketoasidosis diabetik, laktat
asidosis akibat hipoperfusi jaringan, penyakit hati, sepsis, atau metabolisme
ethylene glycol dan methanol.
Hiperphospatemia
ringan adalah komplikasi tersering dari GGA. Hiperphospatemia berat dapat
berkembang pada pasien dengan katabolisme tinggi atau setelah rhabdomyolysis,
hemolysis, atau tumor lysis. Deposisi metastatik dari kalsium fosfatase dapat
menyebabkan hipocalcemia, terlebih jika kadar konsenstrasi kalsium dan fosfat
melebihi 70 mg/dL. Faktor lainnya yang berkontribusi pada hipocalcemia termasuk
resistensi jaringan terhadap pengaruh hormon paratirhoid dan penurunan kadar
1,25-dihydroxyvitamin D. Hypocalcemia biasanya asimptomatis namun dapat
menyebabkan paresthesia perioral, keram otot, kejang, halusinasi, dan perubahan
berkepanjangan dari T-wave serta QT interval pada pemeriksaan EKG
Anemia berkembang secara cepat pada
GGA dan umumnya ringan serta terjadi akibat banyak faktor. Faktor yang
berkontribusi yaitu gangguan eritropoesis, hemolisis, perdarahan, hemodilusi,
dan menurunnya umur sel darah merah. Memanjangnya waktu perdarahan dan
leukositosis juga umum. Infeksi merupakan komplikasi berat dan umum GGA yang
terjadi pada 50 hingga 90% kasus GGA dan 75% menyebabkan kematian. Belum jelas
apakah pasien dengan GGA memiliki defek klinis signifikan pada respon imun atau
adanya peningkatan insidens infeksi akibat adanya kerusakan berulang pada
barier mukokutan (contoh pada kanul intravena, ventilasi mekanik, kateter
saluran kemih. Komplikasi kardiopulmoner pada GGA termasuk arrhythmias,
myocardial infarction, pericarditis dan efusi pericardial, edema pulmoner, dan
emboli pulmoner. Perdarahan gastrointestinal ringan juga dapat ditemukan (10
sampai 30% ) dan biasanya akibat stress ulser pada mukosa lambung atau usus
halus.
GGA berat yang berkepanjangan akan
dapat berkembang menjadi sindrom uremik
Diuresis aktif dapat terjadi selama
fase penyembuhan GGA, dapat juga, pada beberapa keadaan, menyebabkan penurunan
volume intravaskuler dan lambatnya penyembuhan GFR. Hipernatremia dapat juga
menjadi komplikasi pada fase penyembuhan jika pengeluaran cairan melalui urin
hipotonik tidak digantikan secara tepat dengan larutan saline hipertonik. Hypokalemia,
hypomagnesemia, hypophosphatemia, dan hypocalcemia adalah komplikasi metabolik
yang lebih jarang pada fase ini
PENGOBATAN
Pencegahan
Karena tidak ada terapi spesifik
untuk GGA iskemik dan nephrotoksik, pencegahan merupakan hal yang paling penting.
Bayak kasus GGA iskemik dapat dihindari dengan adanya perhatian lebih tinggi
pada fungsi kardiovaskuler, seperti pada pasien beresiko tinggi seperti lansia
dan seseorang yang telah memiliki insufisiensi renal sebelumnya. Restorasi
agresif volume intravaskuler telah menunjukkan penurunan dramatis terhadap
insiden GGA iskemik setelah terjadinya operasi mayor atau pada trauma berat dan
luka bakar. Insiden GGA nephrotoxic dapat diturunkan dengan penyesuaian obat
nephrotoksik terhadap ukuran badan dan GFR. Sebagai contoh, mengurangi dosis
atau frekuensi pemakian obat pada pasien yang memiliki kerusakan ginjal
sebelumnya. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa kadar kreatinin serum relative
kurang sensitive untuk mengetahui GFR dan dapat terlihat lebih tinggi pada
pasien berukuran kecil atau pada lansia. Untuk tujuan menentukan dosis obat,
sangat dianjurkan untuk menggunakan formula Cockcroft-Gault dimana faktor berat
badan dan umur mempengaruhi hasilnya. Menyesuaikan dosis obat berdasarkan kadar
obat yang bersirkulasi juga sepertinya mengurangi resiko cedera di ginjal pada
pasien yang mengkonsumsi antibiotik aminoglycoside, cyclosporine, or
tacrolimus. Diuretics, cyclooxygenase inhibitors, ACE8 inhibitors, angiotensin
II receptor blockers, dan vasodilator lainnya harus digunakan dengan perhatian
lebih pada pasien yang dicurigai memiliki hypovolemia yang nyata atau penyakit
renovaskuler karena zat-zat ini dapat merubah GGA prerenal menjadi GGA iskemik
di masa depan. Allopurinol dan diuresis alkaline berguna sebagai profilaksis
pada pasien dengan beresiko tinggi terkena nephropati asam urat akut (misalnya
pada kemoterapi kanker hematologik) dengan cara membatasi pembentukan asam urat
dan mencegah presipitasi kristal urat pada tubulus ginjal. Provokasi diuresis
alkalin dapat juga mencegah atau mengurangi GGA pada pasien yang mengkonsumsi
methotrexat dosis tinggi atau menderita rhabdomyolisis. N-acetylcysteine
membatasi cedera ginjal yang disebabkan oleh acetaminophen jika diberikan 24
jam pertama setelah asetaminofen dikonsumsi. Ethanol menghambat metabolisme
ethylene glycol menjadi asam oxalic dan hasil metabolit toksik lainnya dan
merupakan tambajan penting pada hemodialisis pada penanganan kegawatdaruratan
intoksikasi ethylene glycol.
Terapi spesifik
Pada dasarnya, GGA prerenal dapat
reversible secara cepat setelah memperbaiki abnormalitas hemodinamika primer
dan GGA postrenal dapat disembuhkan setelah obstruksi dihilangkan. Sampai
sekarang, tidak ada terapi spesifik untuk GGA renal karena iskemik atau
nephrotoxic. Penanganan terhadap kelainan ini berfokus pada menghilangkan
penyebab abnormalitas hemodinamika, menghindari paparan lanjutan dari toxin,
dan pencegahan serta penanganan komplikasi. Terapi spesifik GGA renal yang
disebabkan oleh keadaan lainnya tergantung patologis penyebab.
GGA PRERENAL.
Komposisi dari terapi penggantian
cairan pada GGA prerenal akibat hipovolemia harus menyesuaikan komposisi cairan
yang hilang. Hipovolemi berat akibat perdarahan sebaiknya diterapi dengan
transfuse packed red cells, dimana saline isotonic hanya tepat untuk terpati
penggantian cairan pada perdarahan ringan atau sedang atau kerusakan plasma
(luka bakar, pankreatitis). Komposisi cairan kemih dan gastrointestinal dapat
sangat bervariasi namun biasanya hipotonik. Larutan hipotonik (mis. Saline
0,45%) biasanya direkomendasikan sebagai terapi pengganti awal pada GGA
prerenal akibat meningkatnya kehilangan cairan kemih dan gastrointestinal,
walaupun salin isotonic dapat berguna pada kasus yang lebih berat. Terapi
berkesinambungan sebaiknya berdasarkan pada pengukuran kandungan ion dan volume
cairan yang dieksresikan. Kadar potassium serum dan status asam-basa sebaiknya
dimonitor secara seksama. Gagal jantung membutuhkan penatalaksaan aktif dengan
inotropik positif, agen penurun preload dan afterload, obat antiaritmia, dan
alat bantu mekanik seperti balon intraoaortik. Pengawasan hemodinamika invasif
dibutuhkan sebagai pedoman terapi komplikasi pada pasien yang secara klinis
fungsi kardiovaskulernya dan volume intravaskuler sulit dinilai.
Penatalaksanaan cairan biasanya
sulit pada pasien dengan sirosis berkomplikasi asites. Pada keadaan ini,
penting untuk membedakan antara full-blown sindrom hepatorenal, yang dapat
membawa prognosis buruk, dengan GGA reversible yang disebabkan oleh hipovolemia
akibat penggunaan diuretik berlebihan atau sepsis (misal, spontaneous bacterial
peritonitis). Kontribusi hipovolemi terhadap kejadian GGA secara definitf dapat
dinilai hanya dengan pemberian cairan tambahan. Cairan sebaiknya diberikan
secara perlahan dan disesuaikan dengan jugular venous pressure dan bila perlu,
dengan pengukuran CVP (Central venous pressure) dan PCWP (pulmonary capillary
wedge pressure), lingkar perut, dan output urin. Pasien dengan komponen
prerenal reversible biasanya memiliki peningkatan output urin dan penurunan
kreatinin serum, dimana tidak ditemukan pada pasien dengan sindrom hepatorenal
dan dapat terjadi peningkatan pembentukan asites serta gejala pulmoner jika
tidak diawasi dengan baik. Volume berlebihan asites biasanya dapat didrainase
dengan metode parasentesis tanpa penurunan fungsi ginjal jika albumin intravena
diberikan secara bersamaan. Dikatakan bahwa paracentesis dalam volume besar
dapat memicu peningkatan GFR, kemungkinannya dengan cara menurunkan tekanan
intraabdominal dan memperbaiki aliran vena renalis. Pengalihan cairan asites
dari peritoneum ke vena centralis (peritoneojugular shunt, LeVeen atau Denver
shunts) merupakan pendekatan alternative pada kasus yang refrakter (sulit
diobati) namun belum menunjukkan peningkatan harapan hidup pada kelompok
kontrol. Efek teknik terbaru dengan transjugular intrahepatic portosystemic
shunting (TIPS procedure) sekarang ini masih dalam penilitian yang serius.
Pengalihan juga dapat secara perlahan memperbaiki GFR dan eksresi natrium,
kemungkinan karena peningkatan volume darah sentral memicu pelepasan atrial
natriuretic peptides (ANPs) dan menghambat sekresi aldosterone dan
norepinephrine.
GGA RENAL.
Banyak pendekatan yang berbeda telah
diteliti kemampuannya dalam mengurangi cedera atau mempercepat penyembuhan GGA
iskemik dan nephrotoxic. Termasuk ANP, dopamine dosis rendah, antagonis
endothelin, loop diuretics, calcium channel blockers, a-adrenoreceptor
blockers, analog prostaglandin, antioxidants, antibody leukocyte adhesion
molecules, dan insulin-like growth factor type I. Walaupun kebanyakan dari
pendekatan ini bermanfaat pada model penelitian GGA iskemik dan nephrotoxic,
namun tidak memperlihatkan manfaat yang konsisten (hasilnya bervariasi) dan
terbukti tidak efektif pada manusia
GGA renal akibat penyakit intrinsic
renal lainnya seperti glomerulonephritis akut atau vaskulitis dapat berespon
terhadap kortikosteroid, alkylating agents, dan/atau plasmapheresis, tergantung
dari patologi primernya. Glucocorticoids juga dapat mempercepat remisi pada
kasus nephritis interstitial allergic. Pengendalian aktif terhadap tekanan
arteri sistemik juga sangat penting dalam mengurangi cedera ginjal pada
malignant hypertensive nephrosclerosis, toxemia pada kehamilan, dan penyakit
vakuler lainnya. Hipertensi dan GGA akibat scleroderma dapat sangat sensitive
dengan pengobatan ACE inhibitors.
GGA POSTRENAL
Penanganan GGA postrenal membutuhkan
kolaborasi mendalam dari ahli nephrology, urology, dan radiology. Obstruksi
urethra atau kandung kemih biasanya diatasi pertama-tama dengan kateter
transurethra, yang akan memberikan penyembuhan temporer, sementara lesi
obstruksi diidentifikasi dan kemudian diberikan terapi definitive. Mirip dengan
itu, obstruksi ureter dapat diterapi mula-mula dengan katerisasi percutaneous
terhadap pelvis renalis atau ureter yang terdilatasi. Obstruksi biasanya dapat
disingkirkan secara percutaneous (mis, calculus) atau bypass dengan memasukkan
stent ureter (misal, karsinoma). Sebagian besar pasien mengalami diuresis yang
tidak biasanya selama beberapa hari setelah terapi obstruksi. Sekitar 5% pasien
akan mendapatkan sindrom salt-wasting yang memerlukan pemberian salin intravena
untuk menjaga tekanan darah
Penanganan supportif.
Untuk
penanganan hipovolemia, intake natrium dan air disesuaikan dengan jumlah cairan
yang hilang. Hypervolemia biasanya dapat ditangani dengan restriksi intake
garam dan air serta pemakian diuretic seperti furosemide. Loop diuretics dosis
tinggi seperti furosemida( 200-499 mg IV) atau bumetanide (sampai 10 mg
diberikan dalam bentuk bolus IV atau dengan infus) dapat memacu diuresis pada
pasien yang tidak berespon dengan dosis biasanya. Walaupun dikatakan bahwa
dosis subpressor dopamine terkadang dapat memicu eksresi air dan natrium dengan
meningkatkan aliran darah ginjal, meningkatkan GFR dan menghambat reabsorbsi
natrium di tubulus; dopamin dosis rendah (subpressor) terbukti tidak efektif
dalam penelitian klinis dan justru dapat mengakibatkan arritmia dan sudden
cardiac death pada pasien dengan sakit yang berat, dan sebaiknya tidak
digunakan sebagai agen renoprotektif pada keadaan seperti ini. Ultrafiltrasi
atau dialisis digunakan untuk menangani hypervolemia yang berat jika penanganan
regular gagal. Hyponatremia dan hypoosmolality biasanya dapat diatasi dengan
restriksi intake cairan. Sebaliknya, hypernatremia ditangani dengan pemberian
air atau larutan saline hypotonic atau cairan isotonic yang mengandung
dextrose. Penanganan hyperkalemia dijelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.
Asidosis metabolic tidak selalu
diatasi kecuali konsentrasi bikarbonat serum turun hingga di bawah 15 mmol/L
atau arterial pH turun dibawah 7.2. Asidosis yang lebih berat dikoreksi dengan
pemberian natrium bikarbonat melalui oral atau intravena. Jumlah pemberian awal
disesuaikan dengan estimasi defisit dan disesuaikan berdasarkan kadar serum.
Adanya komplikasi dari pemberian natrium bikarbonat perlu diwaspadai pada
pasien, komplikasi dapat berupa hypervolemia, alkolosis metabolic,
hypocalcemia, dan hypokalemia. Dari pandangan praktikal, kebanyakan pasien yang
membutuhkan natrium bikarbonat membutuhkan dialysis darurat beberapa hari
kemudian. Hyperphosphatemia juga umumnya dapat dikendalikan dengan restriksi
fosfat, dan dengan aluminium hydroxida oral atau kalsium karbonat, yang
mengurangi absorbsi fosfat pada saluran cerna. Hypocalcemia tidak selalu
ditangani kecuali pada keadaan yang sangat berat hingga dapat menyebabkan
rhabdomyolisis atau pankreatitis atau setelah pemberian bikarbonat.
Hyperuricemia biasanya ringan [<890>
Tujuan dari penanganan nutrisi
selama GGA fase maintenance adalah untuk menyediakan kalori yang cukup untuk
menghindari katabolisme dan ketoasidosis akibat kelaparan sekaligus
meminimalisir produksi limbah nitrogen. Tujuan ini paling baik dicapai dengan restriksi
diet protein hingga sekitar 0.6 g/kg per hari untuk protein yang memiliki nilai
bologis tertinggi (mis, kaya akan asam amino essensial) dan memberikan kalori
terbanyak melalui karbohidrat(Sekitar 100 g setiap harinya). Penanganan nutrisi
lebih mudah dilakukan pada pasien nonoligoric dan setelah dialysis.
Hyperalimentasi parenteral dalam jumlah besar akan memperbaiki prognosis,
namun, manfaat langsung belum diperlihatkan dari model control pada suatu
penilitian
Anemia sering kali membutuhkan transfuse
darah pada keadaan berat dan masa penyembuhan melambat. Berbeda dengan Gagal
ginjal kronik, recombinant human erythropoietin jarang digunakan pada GGA
karena resistensi sum-sum tulang terhadap erithropoetin sering terjadi,
sehingga penanganan cepat terhadap anemia dibutuhkan dan gagal ginjal biasanya
self-limiting. Perdarahan uremik biasanya terjadi setelah koreksi anemia,
pemberian desmopressin atau estrogen, atau dialysis. Antasida dosis reguler
sepertinya mengurangi insiden perdarahan gastrointestinal dan dapat lebih
efektif pada keadaan ini dibandingkan Antagonis H2-reseptor atau PPI. Perawatan rutin kanula intravena, kateter urin, dan peralatan infasif
lainnya sangat perlu dilakukan untuk mencegah infeksi. Sangat disayangkan,
antibiotic profilaksis tidak menunjukkan penurunan insiden terjadinya infeksi
pada pasien resiko tinggi ini
INDIKASI DAN MODALITAS DIALISIS
Dialisis dilakukan untuk
menggantikan fungsi ginjal sampai terjadi regenerasi dan perbaikan dari fungsi
ginjal. Hemodialysis dan peritoneal dialysis sepertinya sama efektifnya untuk
penanganan GGA. Sehingga modalitas dialysis dipilih berdasarkan kebutuhan dari
tiap-tiap pasien, (misalnya., peritoneal dialysis dipilih pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil dan hemodialisis dilakukan setelah bedah
abdominal yang melibatkan peritoneum), keahlian nephrologist, dan fasilitas
yang disediakan Rumah Sakit. Akses vaskuler untuk conventional intermittent
hemodialysis didapatkan dengan memasukkan kateter hemodialisis double-lumen
ke dalam vena jugularis internm. vena subclavian dan femoral adalah akses
alternative yang dapat digunakan. Peritoneal dialysis dilakukan dengan
memasukkan kateter “cuffed” kedalam rongga peritoneum. Inikasi asolut dialysis
termasuk adanya gejala sindrom uremik dan untuk menangani hypervolemia yang
refrakter, hyperkalemia, dan asidosis. Kebanyakan nephrologists juga memulai
dialysis jika kadar ureum darah >100 mg/dL, walaupun tidak ditemukan tanda
klinis uremia. Namun, pendekatan ini belum divalidasi dengan penelitian klinis
terkontrol. Bukti terkini mengatakan bahwa semakin intensif hemodialisis
dilakukan (mis, tiap hari dibandingkan dengan tiap 2 hari ) semakin baik dan
menunjukkan harapan hidup yang lebih baik pada GGA selama dialysis itu
diperlukan. Kesimpulan ini mungkin tidak sesuai pada awalnya karena dialysis
sendiri, telah dipostulat dapat memperpanjang periode oligouria pada beberapa
kasus akibat hipotensi dan iskemi ginjal lebih lanjut dan melalui aktifasi
leukosit pada membran dialysis yang kemudian dapat mencetuskan cedera pada
ginja
Continuous renal replacement
therapies (CRRTs) merupakan alternatif selain dari teknik
hemodialisis intermitten konvensional sebagai penanganan GGA. CRRT merupakan
teknik yang bermanfaat pada keadaan dimana hemodialisis intermitten
konvensional gagal mengendalikan hypervolemia atau uremia dan orang yang tidak
cukup dengan intermittent hemodialysis dan pada saat peritoneal dialysis tidak
dapat dilakukan. Continuous arteriovenous hemodiafiltration (CAVHD)
membutuhkan akses vena dan arteri. Tekanan darah pasien menciptakan
ultrafiltrasi plasma pada pori membrane dialysis yang biocompatible. Larutan
crystalloid fisiologis lewat melalui sisi lain dari membrane untuk terjadinya
diffuse. Continuous venovenous hemodiafiltration (CVVHD), sebaliknya,
hanya membutuhkan sebuah kateter vena double-lumen sebagai pompa yang
menimbulkan tekanan ultrafiltrasi sepanjang membrane dialysis. Pada teknik yang
lebih sederhana yaitu pada continuous arteriovenous hemofiltration
(CAVH) dan continuous venovenous hemofiltration (CVVH) langkah dialysis
disingkirkan dan ultrafiltrasi plasma dipindahkan dari membrane dialysis dan
digantikan oleh larutan kristaloid fisiologis. Bukti terkini mengatakan bahwa
terapi dialysis yang intermitten atau yang berkesinambungan sama efektifnya
pada kasus GGA. Pemilihan teknik murni
berdasarkan kebutuhan pasien, fasilitas rumah sakit, dan keahlian dari dokter.
Potensi kekurangan dari teknik hemodialysis berkelanjutan yaitu membutuhkan
immobilisasi yang panjang pada tempat tidur , antikoagulasi sistemik, dan kanul
arterial (pada CAVH) dan terpaparnya darah lebih lama oleh membran dialisis
(walaupun relatif biocompatible).
PROGNOSIS DAN OUTPUT JANGKA PANJANG
Nilai mortalitas pada pasien dengan GGA sekitar 50% dan telah berkurang sedikit
selama 30 tahun terakhir. Perlu ditekankan, bagaimanapun, pasien biasanya
meninggal akibat sekuele dari penyakit primer yang mencetuskan GGA dan bukan
karena GGA itu sendiri. Dikatakan bahwa ginjal adalah salah satu dari sedikit
organ yang fungsinya dapat digantikan oleh mesin (dialysis) untuk periode waktu
yang cukup lama. Sesuai dengan interpretasi ini, jumlah mortalitas sangat
bervariasi tergantung pada penyebab GGA, dan ~15% pasien kebidanan, ~30% GGA
akibat toksin, and ~60% setelah trauma atau operasi besar. Oliguria (<400
style=""> >265 umol/L (>3 mg/dL) berprognosis buruk dan
kemungkinan memperlihatkan keparahan dari cedera ginjal atau dari penyakit
primer. Jumlah mortalitas lebih tinggi pada pasien lanjut usia dan pada pasien
dengan kegagalan multiorgan. Kebanyakan pasien yang melewati episode GGA dapat
sembuh dengan fungsi ginjal semula dan dapat melanjutkan hidup seperti
biasanya. Namun, 50% kasus memiliki gangguan fungsi ginjal subklinis atau dapat
ditemukan bekas luka residual pada biopsy ginjal. Sekitar 5% pasien tidak
pernah kembali fungsi ginjalnya dan membutuhkan penggantian fungsi ginjal
jangka panjang dengan dialysis atau transplantasi. Sebagai tambahan 5% kasus
mengalami penurunan GFR progressif, setelah melalui fase awal penyembuhan, kemungkinan
akibat stress hemodynamic dan sclerosis glomeruli yang tersisa.
Terimakasih artikelnya sangat bermanfaat.
BalasHapusSaya juga akan menawarkan informasi mengenai Obat Gagal Ginjal