Gagal Jantung
FARMAKOTERAPI GAGAL JANTUNG
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK
Prof. Siti Sjamsiah Sargo.
1.
Gagal Jantung :
Performance/kinerja yang baik dari jantung dipengaruhi oleh: (i)
kontraktilitas otot jantung, (ii)neurohormon, (iii) preload (beban pasif yang menghasilkan
panjang otot tertentu dari otot jantung pada
saat akan kontraksi) (iv) afterload (beban yang dihadapi otot jantung
saat sistole).
Kontraktilitas otot jantung merupakan
daya kontraksi otot jantung dengan beban tertetu (isian ventrikel).
Apabila oleh suatu keadaan atau penyakit dimana jantung tidak dapat berfungsi
dengan baik, maka akan terjadi gagal jantung. Berbagai definisi tentang gagal
jantung telah dilontarkan (lih Tab.1 ) namun secara klinikal
disebutkan sbb.: Gagal jantung ialah
sindroma klinikal dimana terjadi
abnormalitas dari struktur dan fungsi jantung yang bertanggung jawab terkait kinerja
jantung sehingga terjadi ketidakmampuan jantung mengejeksi sejumlah volume
darah atau memenuhi sejumlah volume darah pada kecepatan yang seimbang dengan
kebutuhan metabolisme yang
diperlukan jaringan.
2.
Penyebab Gagal Jantung: etiologi dan faktor resiko
Terjadinya gagal
jantung dapat disebabkan dari:
(i).
Mekanis:
–
peningkatan
beban tekanan/peningkatan output workload, sentral ( a.l. pada aorta
stenosis) dan periferal ( pada
hipertensi sistemik)
–
peningkatan
beban volume /peningkatan input workload
( a.l. pada regurgitasi katup paru, peningkatan venous return)
–
obstruksi pengisian ventrikel (stenosis mitral atau trikuspid)
–
konstriksi
perikardial
–
restriksi
endokardial atau miokardial
–
aneurisma
ventrikel
–
disinergi/tidak
sinerginya ventrikel
(ii).
Abnormalitas miokardium atau hilangnya miosit :
a)
abnormalitas
primer
–
kardiomiopati
–
gangguan
neuromuskular
–
miokarditis
–
penyakit
metabolisme/metabolic diseases (DM)
–
toksin
(alcohol, cobalt)
b)
abnormalitas
sekunder
–
dinamik (sekunder akibat kelainan mekanis)
–
iskemia
–
metabolik
–
inflamasi
–
penyakit infiltratif
–
penyakit sistemik
–
PPOM /COPD =chronic obstructive pulmonary disease (penyakit
paru obstruktif menaun)
–
obat-obatan
(iii).
Gangguan irama jantung
–
standstill /henti jantung
–
fibrilasi
–
takhikardia atau bradikardia
–
asinkhroni elektrik, gangguan
konduksi
Sementara itu penyebab
gagal jantung dapat pula didasarkan atas:
(i)
underlying
case ( penyebab kelainan jantung)
(ii)
precipitant
causes (sebab yang membuat terjadinya
gagal jantung) a.l dapat dari infeksi, aritmia, fisikal dan
diet, infark jantung, emboli paru, anemia,
thirotoxikosis dan kehamilan
atau HT/hipertensi yang memburuk
Faktor
etiologi kaitannya jenis gagal jantung
dapat dicontohkan seperti pada Tab. 2 dan faktor resiko pada gagal jantung dapat dicontohkan pada Tab.3
3. Tanda
Klinis Gagal Jantung:
Pada
gagal jantung terjadi penurunan curah jantung, hal ini disebabkan karena volume
sekuncup (stroke volume) jauh lebih
rendah dibanding mekanisme peningkatan denyut jantungnya. Biasanya tekanan darah masih tetap selama
perjalanan awal gagal jantung, meskipun curah jantung sudah berkurang. Hal ini
disebabkan adanya peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik yang berakibat
selanjutnya pada penambahan beban workload bagi jantung. Semua keadaan tersebut secara
medis klinis dapat diukur. Secara klinis praktis dapat diperkirakan dari
pemeriksaan fisik jantung dan gambaran foto polos dada. Curah jantung sensitive terhadap perubahan kontraktilitas, workload, tonus
pembuluh darah serta metabolisme tubuh, dapat dilihat indirek misalnya dengan
pengukuran tekanan darah. Peningkatan
input load secara klinis dapat diketahui
dengan tanda a.l. ditemukannya ronkhi basal, kardiomegali, edema perifer,
serta dari askultasi dari adanya regurgitasi katup. Outflow workload dapat dilihat dari tekanan darah sistolik, impuls apeks serta carotid
upstroke. Curah jantung yang rendah
secara klinis akan dikeluhkan sebagai tanda pasien kebingunan/ confusion, mudah
lelah serta menurunnya produksi urin.
4. Mengenali beberapa terminologi
Beberapa
terminologi digunakan dalam membedakan tipe gagal jantung terkait keperluan
penataan terapi misalnya seperti
tercantum dalam Tab. 4
(a)
Forward & backward
failure
i.
Forward failure ialah keadaan
dimana terjadi penurunan yang nyata dari curah jantung atau cardiac output
(C.O), seperti halnya pada keadaan
setelah infark miokard.
ii.
Backward failure adalah keadaan
dimana ventrikel kanan mengalami kegagalan
menyusul setelah ventrikel kiri akibat dari peningkatan tekanan atrium
kiri dan dilatasi ventrikel kanan. Biasanya kegagalan ventrikel kanan didahului
dari kegagaln ventrikel kiri
iii.
Gagal jantung kongestif ialah
keadaan jantung yang disertai adanya
fenomena tanda kongesti “bendungan” seperti edema, pembesaran hepar, distensi
vena yugularis sebagai akibat kegagalan
ventrikel kanan yang biasanya diikuti
dengan regurgitasi tricuspid.
(b)
Gagal jantung sistolik dan
diastolik :
Perbedaan antara
dua bentuk gagal jantung ini ialah
terkait abnormalitas
prinsipal/utama dalam ketidak
mampuan ventrikel untuk kontraksi secara
normal dan expel/mencurahkan isiannya (darah) secara cukup ( systolic
failure) atau relaksasi dan memiliki isian ventrikel secara
normal (diastolic failure)
Pengertian umum
ialah bahwa fungsi miokard diartikan
sebagai fungsi sistolik atau fungsi
kontraksi otot jantung meskipun juga dapat terjadi gangguan fungsi
diastolik tanpa adanya gangguan fungsi
sistoliknya atau sedikit gangguan fungsi
sistolik.
i.
Gagal
jantung sistolik yaitu bila didapatkan
gangguan sistolik tanpa disertai dengan
peningkatan tekanan akhir diastolic (EDP/end diastolic pressure).
Manifestasi dari gagal jantung sistolik a.l. tidak cukupnya curah jantung (cardiac output)
dengan tanda weakness, fatigue, menurunnya toleransi pada beban latihan dan hipoperfusi.
ii.
Gagal
jantung diastolic ialah bila didapatkan peningkatan tekanan akhir diastolic
tanpa disertai dengan gangguan fungsi sistolik atau bahkan dapat lebih dari
normal.
Manifestasi
gagal jantung diastolic terkait utamanya
pada meningkatnya tekanan isian (filling pressure) pada ventrikel kiri atau
kanan. Gagal jantung diastolic biasanya
ditentukan a.l dari ejection fraction >50%. Diastolic heart failure
dapat disebabkan oleh kenaikan
resistansi terhadap ventricular inflow
dan menurunnya kapasitas diastolic ventrikel misalnya pda konstriktif perikarditis dan restriktif,
hipeprtensi dan hipertrofi
kardiomiopathi), juga pada restriktif kardiomiopathi (fibrosis miokard
dan infiltrasi). Gagal jantung diastolik ini banyak dijumpai pada permpuan dari pada laki-laki, terutama
perempuan dengan hipertensi.
(c)
Gagal Jantung low output dan high output:
i.
Low
output heart failure terjadi sebagai
akibat /secondary adanya iskemia,
hipertensi, dilatasi miokard, penyakit
katup dan penyakit pericardial.
Pada
low output heart failure a.l diditeksi .
apabila didapatkan tanda-tanda kongesti
paru atau edema yang sekunder misalnya akibat
peningkatan tekanan akhir diastolic (EDP / end diastolic pressure) sedangkan
curah jantung masih dalam batas normal
atau bahkan meningkat. Misalnya pada keadaan
fistula arterio-venous yang cukup besar, anemia, hipoksemia jaringan,
tiroksikosis. Gagal jantung low output dijelaskan yaitu keadaan dimana jantung gagal memompa darah yang
mencukupi untuk curah jantung yang
menurun.
ii.
High
output heart failure terjadi pada pasien dengan penurunan
resistensi vaskuler sistemik misalnya
pada hiperparatiroid, anemia, kehamilan, beri-beri dan penyakit Paget’s
Secara klinik
keduanya tidak dapat dibedakan dengan mudah
karena curah jantung normal berkisar antara 2.2-3.5 l/menit per m2.
.
Pada
banyak pasien dengan low out put heart failure
curah jantung dapat sedikit diatas batas rendah curah jantung normal pada
saat istirahat, tetapi gagal
mencapai harga batas normal tadi
saat beban latihan. Sebaliknya pasien dengan high out put heart failure, out
put dapat tidak melebihi harga normal limit atas ( 3.5 l). Beban hemodinamik pada miokard
pada yang high out put menyerupai (resembles) yang disebabkan oleh regurgitasi aorta
khronik.
(d)
Gagal
Jantung kiri dan Jantung kanan :
i.
Gagal
jantung kiri yaitu adanya peningkatan
tekanan akhir diastole, kongesti paru
atau edema paru. Sebab gagal
jantung kiri a.l. hipertensi, penyakit
jantung koroner, penyakit jantung katup
(paling sering sebab dari katup aorta), kadang dari katup mitral, kardiomiopathi, jantung bawaan
(pirau kiri kekanan), miokarditis, endokarditis dan penyakit lain bukan jantung
misalnya tirotoksikosis, beri-beri, anemia gravis ( dalam keadaan kehamilan),
fistula AV Pada gagal jantung kiri terjadi
excertional dyspnea (sesak napas
dengan beban), capek, batuk, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea (tiba-tiba
sesak napas malam), rales, gallop, kongesti vena pulmoner.
ii. Gagal jantung kanan ditandai dengan adanya
bendungan dipembuluh darah vena, edema ekstremitas, pembesaran liver dan
peningkatan tekanan vena yugularis. Sebab gagal jantung kanan a.l.: stenosis
mitral, hipertensi pulmonal, stenosis
katup pulmonal, kadang juga sebab
carcinoid (kanker) yang mengenai
katup tricuspid atau katup pulmonal.
Pada
gagal jantung kanan terjadi peningkatan tekanan darah vena menyebabkan
hepatomegali, dependent edema. Kaitan dengan gejala kongesti paru dan sistemik vena serta hipoperfusi perifer dapat dilihat pada denah Gb. 1
Kegagalan
ventrikel kiri adalah dimana didapatkan
kongesti pada pembuluh darah vena paru
(darah teroksigenasi dari paru masuk ke jantung kiri) dengan dilatasi ventrikel kiri dan
peningkatan tekanan atrium kiri. Keadaan ini ditunjukkan atau termanifestasikan
secara klinik berupa a.l. sesak napas,
ortopneu, paroksismal nocturnal dyspnea
(PND) serta edema paru.
Sebab dari
kegagalan ventrikel kiri (left ventricle/LV)
merupakan dasar utama dari kegagalan jantung. Adapun sebab dari
kegagalan ventrikel kiri dapat dikategorikan atas:
a)
Volume overload :
–
regurgitant
valves (mitral atau aorta)
–
high output state (anemia, hipertensi)
b)
Pressure overload :
-
hipertensi sistemik
-
obstruksi out flow
(stenosis aorta, asimetrik hipertrofi
septal)
c)
Loss
of muscle :
-
infark
miokard karena penyakit arteri koronner
-
penyakit
jaringan ikat/connective tissue disease (SLE/lupus)
d)
Loss
of contractility :
-
racun/toksik
alcohol, cobalt doxorubicin (obat kanker)
-
infeksi:
viral, bacterial
e)
Restricted
filling :
-
stenosis
mitral
-
penyakit
perikardial (konstrikstif perikarditis, tamponade perikardial
-
penyakit infiltratif (amyloidosis)
iii. Gagal jantung transien ( belum menetap)
disebabkan oleh faktor pencetus/trigger atau presipitasi. Keadaan
demikian tadi disebutkan lebih dari separuh kasus gagal jantung akibat
dari faktor pencetusnya. a.l. aritmia,
infeksi saluran napas, infark miokardial,
emboli paru, jantung rematik, thirotoksikosis, anemia, penggunaan steroid, kehamilan, pemberian cauran parerenteral yang
berlebihan. Pada gagal jantung transien tersebut, bila faktor pencetus dapat
diatasi biasanya jantung akan kembali normal
dan kembali asimptomatis seperti semula.
Pemeriksaan fungsi
ventrikel kiri (LV) merupakan bagian
krusial dari diagnosis dan managementnya . Kebanyakan pasien memberikan simpton
/sign dari keduanya gagal jantung kanan
dan gagal jantung kiri. (RHF &LHF)
Bahasan berikut
utamanya tentang disfungsi diastolik
karena disfungsi sistolik LV, pasien
dengan gagal jantung dengan pressure sistolik kebanyakan
karena disfungsi diastolik, mengalami banyak penurunan simpatetik dan
dapat mempersulit perbedaan klinikal. Tekanan diastolik meningkat meskipun
diastolik volume normal atau rendah. Tekanan ini dipindahkan sistem pulmoner
dan sistem venous sistemik, menyebabkan dispnea dan edema. Penyebab tersering
dari disfungsi diastolik jantung ialah
LVH /hipertrofi ventrikel kiri umumnya
karena HT tetapi kondisi seperti
hipertrofi atau kardiomiopati
restrikstif, penyakit DM dan penyakit
perikardial dapat memberikan gambaran yang sama. Di negara maju penyakit jantung koroner
(CAD/coronary arterial desease) yang mengakibatkan MI (myocardial
infarction) dan hilangnya fungsi
miokardium (ischemic cardiomyopathy)
penyebab utamanya ialah HT ;
selain itu HT sistemik juga sebagai
penyebab utama yang penting dari
CHF/chronic heart failure. Pada gagal jantung khronik beberapa proses dapat
terjadi a.l. dilatasi atau kardiomiopati.
Sebab lain ialah alcoholic
cardiomyopathy , viral myocarditis, termasuk infeksi HIV dan idiopathic cardiomyopathy. Penyakit katup jantung
(valvular HD) karena degeneratif stenosis aorta dan khronik regurgitasi aorta
atau mitral.
5. Mekanisme
Kompensasi pada HF:
Mekanisme dari cardiovascular reserve (upaya
kompensasi) dengan mekanisme dan efek
yang ditimbulkan dapat dilihat pada Tab.5. Dari mekanisme kompensasi akan mneimbulkan keterbatasan jantung ( cardiac reserve) dapat dilihat pada Tab.6
Ada
berbagai mekanisme jantung untuk melakukan kompensasi kegagalan fungsinya.
a) Peningkatan
denyut jantung: Peningkatan denyut jantung (HR) ini dalam
upaya meningkatkan curah jantung atau cardiac output (C.O) Besarnya
curah jantung dinyatakan dengan
C.O = SV x HR dimana
SV = Stroke Volume atau volume sekuncup .Akan tetapi karena denyut yang
cepat tadi menyebabkan waktu diastolik menjadi singkat sehingga aliran darah ke pembuluh koroner
berkurang dan terjadilah iskemia miokardial, kontraktilitas jantung
berkurang serta menambah beban jantung
/workload. Sebagai gambaran, dalam satu siklus kontraksi jantung dengan
frekwensi denyut 60 x permenit sekitar 30% adalah fase sistolik dan 55% fase
diastolic. Pada frekwensi 90 kali permenit 45% fase sistolik dan 55% fase
diastolic, selanjutnya pada frekwensi 120 permenit 60% fase sistolik dan 40%
fase diastolik.
b)
Remodeling/perubahan bentuk miokard: Terjadinya hipertrofi miokard
sebagai kelanjutan mekanisme kompensasi jantung yang menuju kegagalan
kinerja/performace. Tujuan dari
mekanisme ini untuk menurunkan
workload perunit sel jantung. Akan tetapi keadaan ini menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen bagi miokard dan gangguan transportasi oksigen dari kapiler arteria koronaria ke
masing-masing otot. Hipertrofi miosit
melibatkan perubahan ekspresi genetik
a.l.: transkripsi mRNA dari DNA sehingga
terjadi penambahan volume mitokondria, miofialmen dan perubahan bentuk miosin.
Dengan demikian terjadinya hipertrofi
meliputi penambahan jumlah serta ukuran sarkomer dalam setiap otot
jantung. Mekanisme kompensasi ini dibedakan
menjadi dua bentuk yaitu hipertrofi eksenstrik dan konsentrik
(lih Gb )
(i).
Hipertrofi konsentriik
(pressure over load) terjadi
apabila beban yang diterima oleh jantung berupa penambahan beban tekanan
misalnya pada keadaan stenosis aorta. Dalam hal ini terjadi penebalan dinding
jantung tanpa diikuti bertambahnya volume ruangan jantung
(ii).
Hipertrofi eksentrik (volume
overload) terjadi bila beban yang
diterima oleh jantung berupa penambahan beban volume misalnya pada regurgitasi
mitral. Dalam hal ini terjadi penebalan
otot jantung yang disertai dengan bertambah besarnya ruang isian jantung
(dilatasi) secara proporsional.
Selain mekanisme tersebut yang dapat
mempengaruhi terjadinya hipertrofi
miokard ialah: growth hormon, hormon tiroid, kortisol, angiotensin serta
stimulasi sistem saraf simpatis.
Pengaruh hipertrofi yaitu bahwa pada keadaan hipertrofi distensibilitas
ventrikel akan berkurang. Beberapa
mekanisme yang menyebabkan penurunan distensibilitas yang mengalami hipertrofi a.l.: bertambahnya dinding miokard, peningkatan tegangan (wall
stress) , fibrosis, iskemia endokard.
Pengaruh hipertrofi terhadap kontraktilitas miokard ialah bahwa kontraktilitas per unit massa miokard dipengaruhi oleh penyebab
terjadinya hipertrofi. Dari hasil percobaan yang telah ada dibuktikan bahwa pada
hipertrofi eksentrik (karena volume overload) tidak terjadi penurunan kontraktilitas
miokard sampai saat mulai terjadinya
gagal jantung. Sebaliknya pada hipertrofi konsentrik (karena pressure overload)
segera didapatkan terjadinya gangguan kontraktilitas. Secara umum
kontraktilitas hipertrofi miokard per
unit massa
akan berkurang, sehingga untuk mempertahankan kompensasi diperlukan
penambhan massa , bertambah panjangnya otot jantung sehingga meningkatkan kekuatan kontraksi
(hukum Frank-Starling). Namun pada keadaan
gagal jantung karena jantung tidak mampu melakukan pengosongan isinya,
maka pada akhir sistole masih terdapat sejumlah volume darah dalam ventrikel
kiri yang tersisa yang lebih besar lagi, ini menyebabkan peregangan pada dinding ruang jantung dan bertambah
panjangnya sel miokard. Dengan makin tambah panjangnya sel miokard tersebut
“dimaksudkan” untuk makin besar kontraktilitas (lih contoh “ketepil”)
akan menambah ejeksi darah yang dipompa keluar ventrikel. Pada tekanan yang sangat tinggi akan terjadi
overstretching dari miokard yang
menyebabkan jantung justru ejeksi volume
keluar menurun keadaan ini digambarkan
dengan hubungan respons tekanan
pengisian dan curah jantung sebagai “decending limb” kurva Starling. Namun keadaan
tersebut tidak terjadi begitu “teoretis mekanik” pada manusia karena adanya proses
pada miokard terdapat
perikardium dan fossa kardiak.
Akan terapi akibat atau dampaknya ialah dibanding dengan keadaan normal, dengan tekanan
pengisian yang sama pada gagal jantung akan menyebabkan penurunan curah jantung
(cardiac output) berarti masih terdapat sisa sejumlah volume yang tidak
terejeksi yang akan berakibat pula penambahan beban tekanan akkhir diastole.
(EDP=end diastolic pressure)
Pada saat permulaan dari berbagai jenis
penyakit jantung mekanisme kompensasi otot jantung masih dapat mempertahankan
pada curah jantung yang normal serta tekanan intra kadiak pada saat istirahat
maupun setelah test latihan beban. Keadaan menjadi de-kompensasi /tidak bisa
kompensasi pada saat volume dan tekanan pengisian ventrikel yang bersangkutan meningkat, meskipun peningkatan volume dan
tekanan pengisian ventrikel dapat pula disebabkan berkurangnya distensibilitas dan belum tentu
disebabkan kegagalan ventrikel pada saat
awalnya perjalanan penyakit. Pada
saat tekanan pengisian ventrikel meningkat maka akan diteruskan arah
balik/ kebelakang (backward) yaitu berupa peningkatan tekanan atrium kiri dan terjadi kongesti pada
pembuluh darah vena paru. Keadaan ini akan menyebabkan edema intersitial serta alveolar sehingga terjadi keluhan-keluhan seperti
sesak napas, orthopnea, PND (paroxysmal
nocturnal dyspnea) ini semua terjadi bila yang terkena adalah ventrikel kiri
(gagal jantung kiri). Apabila yang terkena ventrikel kanan maka akan terjadi
tekanan pembuluh darah vena a.l. vena
porta hepatica dan menimbulkan
hepatomegali, edema ekstremitas dan
asites. Pada saat beban latihan, curah
jantung akan berkurang sehingga akan menimbulkan kompensasi berupa
takhikardi untuk mempertahan kan curah jantung ( C.O
= HR x SV). Apabila tekanan pengisian
ventrikel meningkat dan distensibilitasnya menurun, maka atrium akan mengalami
hipertrofi untuk menambah kekuatan kontraksi atrium pada saat pengisian
ventrikel. Pada keadaan seperti ini
hilangnya daya “atrial kick” akan menurunkan curah jantung pula, seperti
misalnya pada keadaan fibrilasi atrium.
Peningkatan volume darah dalam sistem
sirkulasi merupakan manifestasi dari proses retensi cairan. Hal ini akan
meningkatkan volume darah dalam
sistem sirkulasi darah yang kembali ke
jantung ( preload)., dengan tujuan agar supaya kontraktilitas miokard meningkat (Hukum Frank-Starling).,
sehingga diharapkan curah jantung meningkat. Akan tetapi peningkatan volume
darah ini akan berakibat pada dilatasi ventrikel.. Dilatasi ventrikel akan
berakibat atau menyebabkan peregangan
cicin valvular/katup dan terjadi regurgitasi valvular yang lebih lanjut akan
meningkatkan input workload. Vasokontrikasi yang terjadi pada storage vessels
yaitu pembuluh darah balik/ vena akan menyebabkan menyebabkan beban pembuluh
darah yang kembali ke jantung (preload)
bertambah. Hal ini berbeda
dari efek vasokonstriksi pada pembuluh
yang resisten (resistance vessel)
terutama arteriol akan meningkatkan hambatan/resistensi sistemik dengan
tujuan untuk mempertahankan tekakan darah. Jadi vasokontriksi resistance
vessels menyebabkan outflow workload
dan penurunan stroke volume (volume sekuncup). Vasokonstriksi pada resistance
vessels regional menyebabkan redistribusi
aliran darah dengan tujuan untuk
mempertahankan perfusi organ vital
(otak, jantung itu sendiri,ginjal).
Faktor yang
mempengaruhi afterload dapat dilihat pada Tab. 7, sedangkan pengaruhi
preload dan faktor lain terhadap curah
jantung dapat dilihat pada dnah Gb. 2 dan Gb.3
Gambaran dari
proses remodeling ventrikel dapat
dilihat dari Gb.4, denah Gb 5,
Tab.8 dan Tab.9
6. Faktor yang
mempengaruhi fungsi jantung terkait timbulnya gagal jantung: .
Dari uraian di
atas dapat di mengerti bahwa faktor yang mempengaruhi fungsi jantung yaitu
keterkaitan anatara:
(i)
Kontraktilitas à (ii)
Fungsi ventrikel à (iii) Fungsi pemompaan
Kontraktilitas melibatkan : -
ukuran dan geometri ruang isian jantung
- hipertrofi (remodeling otot jantung)
- penyakit infiltratif (yang mengubah ultra
struktur sel jantung)
- relaksasi diastolic (akan berakibat pada end diastolic pressure)
Fungsi ventrikel ke fungsi pemompaan
melibatkan faktor:
- denyut
jantung (heart rate)
- fungsi katup (ada tidaknya penyakit katup)
- tekanan pengisian atau ventricular-end-diastolic volume
(preload)
- impedansi efeksi (afterload)
Tekanan darah dan
curah jantung dipengaruhi oleh kinerja/performance jantung. Keadaan pembuluh darah serta sistem
kontrol dari tubuh yang terdiri dari
sistem saraf otonomik dan metabolisme.
Sistem saraf otonomik dari saat ke saat mengontrol perubahan workload,
kontrakrtilitas, serta tonus pembuluh darah balik storage vessels (pembuluh
vena) maupun resistance vessels (arteri). Adapun sistem RAA
(rennin-angiotensi-aldosteron)
mengontrol sistem sistemik dan resistensi Na dan cairan yang secara
tidak langsung akan mempengaruhi workload. Secara klinis kaitan sistem
terserbut tampak sebagai peningkatan berat badan karena edema perifer dan
kongesti paru.
7. Patofisiologi
Gagal Jantung:
Patofisologi
perkembangan terrjadinya gagal jantung dapat dilihat dari alur Gb. 6, dan atlas patofisologinya Gb.7
Performance/kinerja
jantung dipengaruhi dua komponen yaitu
workload dan kontraktilitas jantung.
Workload terdiri atas
input-workload dan output-workload.
Peningkatan beban input workload misalnya dapat terjadi pada regurgitasi katup, defek septal
ventrikel (VSD = ventricle septal defect)
sedangkan peningkatan output
workload misalnya terjadi a.l pada
hipertensi atau stenosis katup. Komponen
kontraktilitas dapat mengalami penurunan
pada keadaan a.l. iskemia, infark maupun kelainan primer pada sel otot
jantung sendiri yaitu pada kardiomiopati. Pada saat terjadi ketidak seimbangan
pada kontraktilitas dan workload,
akan memacu mekanisme kompensasi berupa
denyut jantung (HR=heart rate), hipertrofi miokard, dilatasi miokard,
peningkatan volume darah dalam sistem sirkulasi
serta vasokonstriksi.
Berikut adalah factor terkait patofisiologi gagal jantung:
(i) Peningkatan frekwensi denyut
jantung/nadi:
Kaitan antara
respons kompensasi gagal jantung dengan peningkatan frekwensi nadi dengan
tujuan meningkatkan curah jantung, tetapi sebenarnya dengan dengan gangguan
kontraktilitas ventrikel yang berat dari setiap
denyut/kontraktilitas tersebut volume darah yang dicurahkan (volume
sekuncup/stroke volume) setiap denyut
adalah konstan sehingga curah jantung (cardiac output) yang dihasilkan adalah proporsional
dengan frekwensi denyut jantung tadi. Tetapi dengan peningkatan denyut
jantung tadi justru merugikan bila ada disfungsi diastolic atau adanya iskmeia miokard.
(ii) Peningkatan arginin-vasopressin:
Arginin-vasopressin disebut juga ADH=antiduretik horman, yang
dihasilkan oleh kelenjar hipofisis posterior.
Pada keadaan gagal jantung berat, terjadi peningkatan sekresi hormon ADH
tersebut yang mempunyai
efek vasokonstriksi pembuluh darah perifer dengan akibat peningkatan
tahanan/resistensi periferal
(iii)
Peningkatan aktivitas sistem RAA:
Salah satu mekanisme kompensasi yang terjadi
segera setelah gagal jantung adalah aktivasi sistem saraf simpatis yaitu dengan meningkatnya kadar angiotensi II, norepinefrin dan
vasopresin dalam darah. yang kesemuanya memberikan efek vasokonstriksi arterial dan
tonus vena. Sebaliknya kenaikan
aktivitas simpatetis pada jantung (diimbangi dengan penurunan sistem saraf
parasimpatis) menyebabkan pelepasan norepinefrin dan terstimulasinya reseptor b-adrenergik
sehingga terjadi peningkatan denyut jantung/nadi dan kontraktilitas
miokard. Selain itu proses relaksasi
miokard juga dipercepat hal ini membantu pengisian ventrikel. Pada gagal
jantung meskipun sintesis norepinefrin
pada otot jantung sendiri berkurang
akibat menurunnya aktivitas ensim
tyrosin hidroksilase, akan tetapi pelepasan norepinefrin oleh medulla
adrenalis (dari glandula supra renalis)
serta sel-sel pembuluh darah meningkat sehingga kadar norepinefrin dalam
darah tetap tinggi. Pada saat melakukan aktivitas fisik kadar norepinefrin
dalam darah akan lebih meningkat lagi.
Perubahan yang
terjadi pada miokard saat terjadi gagal jantung selain penurunan sintesis
norepinefrin, gangguan ambilan/reuptake norepinefrin juga terjadi penurunan
sensitivitas miokard terhadap
katekolamin serta berkurangnya reseptor
beta adrenergik pada miokard (down grading).
Proses regulasi dari sistem saraf otonom ini bertujuan mempertahankan
aliran darah ke organ-organ vital
seperti otak, jantung, sedangkan sirkulasi untuk kulit, otot splanknik
dan ginjal dikurangi (akibat kurangnya redistribusi curah jantung). Pada gagal
jantung tingkat sedang curah jantung
istirahat masih mencukupi untuk kebutuhan sirkulasi dan metabolisme,
sehingga vasokonstriksi tersebut hanya terjadi saat kebutuhan meningkat a.l.
pada latihan beban. Pada keadaan gagal
jantung berat, vasokonstriksi juga terjadi saat keadan istirahat/tidak ada
beban. Pada keadaan gagal jantung yang sangat berat maka ginjal, miokard dan
otak aliran darah dapat menurun terutama pada saat ada beban atau latihan
beban/aktivitas/ kerja dan akan terjadi pula peningkatan tekanan pembuluh darah
balik/vena yang mempertahankan venous
return.
(iv) Peningkatan volume sirkulasi dengan aktivasi sistem RAA:
Pada gagal jantung
akan terjadi peningkatan rennin dalam darah yang dapat dijelaskan dari sebab
meningkatnya sekresi rennin dari ginjal yaitu:
–
perubahan
tekanan pada dinding arteriol pembuluh darah
aferen glomerulus
–
reseptor
pada maculadensa mendeteksi adanya perubahan
kadar Na dalam tubulus distalis
–
feed
back mechanism dari kadar angiotensin dalam darah
–
sistem
saraf pusat yang mengatur sekresi rennin
Secara umum dapat
dikatakan bahwa sekresi rennin dipengaruhi oleh
penurunan perfusi darah di ginjal serta perubahan kadar Na dalam tubulus
renalis. Selanjutnya rennin ini yang merupakan ensim, akan mengubah substrat
angiotensinogen menjadi angiotensin-1 (molekul 10 peptide) yang selanjutnya
angiotensin-I ini oleh ensim ACE (angiotensin converting enzyme) diubah menjadi angiotensin-II (molekul 8
peptide). Angiotensin-II ini besifat
vasokonstriksi pembuluh darah arteri eferen
ginjal, menstimulasi reabsorpsi Na dan
Cl ditubulus distalis, memacu pelepasan
norepinefrin dari ujung saraf simpatetik
menimbulkan efek inotropik/memacu jantung memacu terjadi
remodelling/perubahan model sel miokard
a.l. berupa hipertrofi jantung dan efek
epinefrin pada saraf otak akan
merangsang timbulnya rasa haus.
(v)
Peningkatan produk peptida vasodilator
Peptida yang
bersifat vasodilator dalam tubuh a.l.
bradikinin dan kaliden yang dihasilkan melewati sistem kallikrein-kinin.
Peptida ini pelepasannya kedalam darah
vena ginjal dan dimetabolismenya di
korteks renalis dan di paru. Peningkatan produksi peptida tersebut dalam
keadaan gagal jantung belum diketahui jelas sebabnya., tetapi peptida tersebut
membantu ekskresi Na pada keadaan gagal
jantung.
Peptida lain ialah
neuropeptide tyrosine (PGY) diduga kuat
mempunyai kontrol terhadap kontraktilitas miokard serta regulasi perfusi
miokard pada keadaan gagal jantung.
(vi)
Disosiasi oksigen-hemoglobin
Menurunnya
peredaran darah keperifer pada gagal jantung
akan menyebabkan sintesis 2,3-difosfogliserat (DPG) yang akan berakibat
penurunan afinitas hemoglobin terhadap oksigen
berkurang sehingga akan
memudahkan pelepasan oksigen dari ikatan
dengan haemoglobin..
(vii) Peningkatan prostaglandin:
Prostaglandin PGI2
dan PGF2a disintesis oleh sel-sel collecting tubule medulla renalis serta
jaringan interstial ginjal dan pelepasan dalam pembuluh darah vena ginjal
sedang metabolisme di korteks renalis
dan di paru. Prostasiklin PGI2 dan PGE2a disintesis pula dalam otot polos vaskuler /pembuluh
darah ginjal. Fungsi dari prostaglandin dan prostasiklin tersebut adalah membantu peningkatan laju filtrasi glomerulus
(GFR) dengan jalan vasokonstriksi pembuluh darah eferen arteriol glomeruli serta mempengaruhi sekresi renin.
(viii) Peningkatan kadar ANP (atrial natriuretic
peptide)
ANP adalah suatu
peptide jantung yang dihasilkan oleh dinding atrium dimana pelepasannya
melewati stimulasi dengan adanya
regangan dinding atrium. Pada gagal jantung dengan adanya regangan tadi
akan terjadi peningkatan ANP. Peningkatan kadar ANP dalam darah akan
menyebabkan natriuresis/eksresi Na dalam urin yang kaitannya akan menurunkan
produksi hormon mineral kortikod aldosteron, rennin dan arginin-vasopressin.
Response natriuresis dan mekanisme
vasokinstriksi tersebut tidak dapat mengatasi kompensasi gagal
jantung, karena banyak mekanisme kompensasi lain yang terjadi.
8. Terapi obat:
Aturan penggunaaan
obat yang sederhana untuk terapi gagal
jantung sulit diformulakan yang sesuai
untuk semua pasien karena perbedaan
faktor penyebab dan berbagai
etiologi, gambaran hemodinamik, manifestasi klinik dan kegawatannya. Secara klinik dapat dibagi antara lain kategori kegawatan dalam 4 tingkat : A) general measure; B)
koreksi penyebab penyakit; C)prevensi keparahan fungsi dan D) mengendalikan
keadaan gagal jantungnya. Dapat dilihat pada Gb.8.
Dari obat
dan tujuan terapinya dapat
digolongkan sbb:
(i) Pengendalian eksesif cairan: golongan
diuretika
Diuretika paling efektif untuk
mengurangi gejala severe dan moderate HT. Diuretika dengan kombinasi ACEI
harus menjadi awal terapi pada umumnya
pasien yang simptomatik. Tiazide
diuretika HCT (25-100)mg metolazon (2.5-5) mg, chlortalidon (25 –50 mg). Tiazide
tidak efektif bila filtrasi glomerulus(GFR=glomerular filtration
rate) menurun menjadi 30-40 ml/min a.l. dapat
terjadi pada pasien dengan severe HT. Metolazon masih efektif sampai GFR 20-30 ml/min. ESO yang perlu
diperhatikan ialah hipo K yang dapat
menyebabkan aritmia jantung, prerenal
azotemia, selain itu skin rash, neutropenia, trombositopenia, hiperglikemia,
hiperurisemia, disfungsi hepar. Pasien
dengan severe HF dapat dengan penggunaan
kombinasi loop diuretika + tiazide. Sebagai loop diuretika furosemid
dapat masih aktif meskipun severe renal
insufisiensi tetapi dosis harus ditingkatkan menjadi 500 mg /hari,
pemberian iv lebih baik bila absorpsi
per gastro intestinal jelek, misalnya karena oedema retensi cairan dan lemahnya
sirkulasi darah. diuretita hemat kalium/ K-sparing diuretika misalnya
spironolakton, triamterene, amilorid dapat ditambah dengan loop diuretika atau tiazid. Spironolakton sebagai aldosteron spesifik inhibitor yang
pada pasien gagal jantung kadar aldosteron sering meningkat, aldakton
penting untuk sparing K/hemat K. Metalazon dibanding tiazid lain karena obat ini masih efektif pada GFR rendah dan paling banyak digunakan dalam kombinasi,
dosis cukup 2.5 mg + loop diuretika. Dalam beberapa kasus perlu dosis hanya 1 x
seminggu atau 2x seminggu ditingkatkan paling tinggi 10 mg
.
(ii) Prevensi
remodelling akibat miokar infark:
golongan ACEI dan ARB
Inhibitor sistem RAA melibatkan angiotensin dan
aldosteron. Obat yang terlibat dalam sistim ini
ialah . ACEI; ARB, Spironolakton dan b-blocker
a)
ACEI: karena efeknya dapat
hipotensi, maka dosis kecil 6.25 mg 3 x / hari atau enalapril 2.5 mg/hari dalam
2 minggu Pasien perlu ditanya tentang
ada tidaknya pengalaman terkait gejala hipotensi. Efek klinikal a.l.: captopril
50 mg x3, atau elanapril 10 mg x2 atau
lisinopril 20 mg 1x1, selama 1 sampai 3 bulan. Perlu di cek K darah, bila
kadar K 3-5.5 meq/l keadaan aman dan tidak perlu didiskontinyu obatnya.
b)
ARBs tidak mempunyai efek
bersama ACEI, tetapi pada jalur lain a.l. bradikinin, prostaglandin NO dalam jantung dan pembuluh darah dan jaringan
lain. Oleh karena itu ARBs utamanya
candesartan atau valsartan memberi
manfaat penting sebagai alternatif dan adisi ACEI pada gagal jantung khronik.
c)
Spironolakton, sebagai aldosteron inhibitor diketahui memediasi beberapa efek utama aktivitas sistem RAA seperti miokardial remodelling dan
fibrosis, juga pada Na retensi dan K
loss pada distal tubuler Oleh karena itu spironolakton lebih sebagai suatu neurohormonal otoregulasi dari pada
sekedar diuretik hemat Kalium.
Penggunaan aldakton + ACEI à dilaporkan dapat menurunkan
mortalitas sekitar 29%, hiper K umumnya tidak
terjadi pada pasien dengan severe
HF. Kadar K harus dimonitor setelah 1-4 minggu
terapi dengan aldakton. Pilihan lain dari derivat aldakton ialah
eplerenone bekerja lebih selektif inhibitor
aldosteron dari pada aldakton.
d)
B-blocker: pada gagal jantung
b-blocker mempunyai efek “life-saving benefit” dengan mekanisme yang belum jelas, diduga
dengan menekan katekholamine dan saraf
simpatik yang memberikan kontribusi pada
kerusakan miokardium a.l. berupa terjadinya
penurunan LV disfungsi dan dilatasi. Bukti utama a.l. setelah terapi dengan b-blocker selama 3-6 bulan disebutkan bahwa b-blocker menghasilkan secara substansial kenaikan ejeksi (EF= ejection fraction) sekitar 10%
absolute increase dan reduksi LV
size dan mass. Carvedilol telah diteliti pada CHF
atau dapat diberikan sediaan
extended release metoprolol, atau bisoprolol
tetapi tidak short acting
metoprolol. Aturan dosis harus hati-hati
meningkatkannya sbb:
–
Carvedilol, awali 3.125 mg 2x1 à 6.25, 12,5 & 25 mg 2x
sehari dengan interval kenaikan 2 minggu
ke target 200 mg SL Toprol.
–
Bisoprolol dossi 1.25; 2,5;
3,75; 5.; 7.5; 10 mg tiap hari dapat 1-4 minggu interval.
Pasien harus dinasihati memonitor berat badan (bb) mungkin ada
retensi cairan untuk cek akibat fungsi jantung
bila TD naik à perlu diuretika, b-blocker tidak perlu ditingkatkan dosisnya .
Carvedilol karena memiliki efek (alfa
blocker) : (b-blocker) sekitar
(1:9) dapat memberikan à ESO
menimbulkan efek dizziness & hipotensi, dosis perlu diturunkan dengan “slowing the pace of dose increase”
(iii)
Meningkatkan kontraktilitas miokard:
Untuk tujunan ini dapat digunakan glikosida
jantung digoxin, simpatomimetik amin (dopamine, dobutamin), inhibitor PDE
(Phospho Diesterase –inhibitor Enzyme) misalnya amrinon, milrinon.
Efek inotropik jantung dapat dengan
pemberian : digitalis utamanya digoxin
bekerja sebagai inotropik positif dengan khronotropik negatif
Digoxin paling banyak digunakan dari preparat digitalis, dosis 0.75-1.25
mg (tergantung usia dan fungsi ginjal,
lean body mass).Obat-obat yang dapat meningkatkan kadar digoxin 100% a.l.
amiodaron, kinidin, propafenon, verapamil, kadar serum digoxin dapat dicek setelah terapai digoxin selama 7-14 hari (6
jam setelah dosis akhir, enitropik efek pada kadar 0.7-1.2 ng/ml, hiper K akan
meningkatkan toksisitas. Toksisitas digoxin dapat diantidotum dengan immune fab
(ovine) untuk mengatasi intoksikasinya , tapi t1/2 nya pendek.
(iv)
Vasodilator:
Oleh karena
pada pasien gagal jantung
mempunyai keduanya yaitu gangguan peningkatan preload dan penurunan curah jantung, oleh
karena itu memilih vasodilator
ialah yang mempunyai kedua sifat
tersebut. Meskipun vasodilator yang juga
neurohormonal antagonis khususnya ACEI dikatakan “improve prognosis” tetapi
efek sebagai direct vasodilator kurang jelas.
Obat golongan
vasodialtor a.l.:
–
nitrate,
iv vasodilator baik untuk CHF dengan HT, hindari bila TD <100 sistolik untuk
NTG, ISDN SL 20-80 mg, NTG ointment 12.5
–50 mg (1-4 minggu) tiap 6-8 jam. ESO: kepala pusing ada toleransi pada terapi
lama, dapat diminimalkan tiap hari ada
8-12 jam bebas nitrit/bebas obat
tsb. Transdermal NTG tidak mempunyai sustained effect harus dihindari pada
pasien dengan gagal jantung.
–
Nisiritide
adalh produk rekombinan BNP (Brain Natriuretic Peptide) human, potensi vasodilator à menurunkan ventricle filling pressure à meningkatkan curah jantung. Efek
hemodinamik menyerupai NTG iv dengan
lebih dapat diprediksi/predictable hubungan dose-respons curve dan durasi kerja
lebih lama. Dosis iv bolus 2 ug/kg bb
diberikan infusi 0,01
ug/kg/min yang dapat dititrasi à
perbaikan cepat/rapid improvement dari keadaan dyspnea dan hemodinamik. ESO utama hipotensi.
–
Hydralazin sebagai poten
arteriol dilator, meningkatkan curah jantung secara bermakna pada CHF
tetapi tidak memperbaiki symptom.
Kombinasi dengan nitrat memberikan
hemodinamik lebih baik. ESO: sekitar 30% pasien mengalami toleran dengan dosis
tinggi, untuk menghasilkan hemodinamik membaik perlu dosis 300 – 400 mg
terbagi. ESO utama takhikardia dan hipotensi .
–
Terapi
kombinasi : sebgai tambahan ACEI + b-blocker bagi pasien yang tetap simptomatik dapat dipertimbangkan dengan ARB terbukti paling baik bila Class II – Class III HF, sedang spironolakton
bukti terbaik “best proven” pada recent
class IV HF, sedang hydralazine dan ISDN terbukti baik untuk African-American.
(v)
Manajemen aritmia :
–
Positif inotropik digoxin iv
bolus b1-agonist (dobutamin) dan PDEI (milrinone) kadang digunakan. Data terbatas informasi pada penggunaan jangka lama
menimbulkan mortalitas, initropik positif tidak pernah untuk evaluasi respons pada
controlled trial.
–
CaCB : amlodipin
pada severe HF à safe,
tetapi disebutkan tidak lebih superior dari plasebo, harus dihindari pada
HF kecuali bila terkait iskemia dan HT
–
antikoagulan bagi pasien dengan LVF dan penurunan EF/ejection
fraction kadang ada peningkatan resiko
terjadi trombous kardiak dan emboli sistemik arterial. Resiko terutama
pada pasien fibrilasi atrial (AF=atrial
fibrillation) atau yang baru mendapatkan
infark lebar bagian anterior miokard yang biasanya mendapatkan warfarin untuk 3 bulan setelah infark miokard. Pada pasien gagal jantung kejadian emboli sekitar 2% dan terapi untuk koagulan tidak perlu.
–
antiaritmia bagi
pasien dengan moderate sampai severe
HF banyak insiden simptomatik atau asimptomatik aritmia yaitu
sekitar 10%. Pasien sinkop atau presinkop
karena ventricular takhikardia, pada ambulatory pasien sekitar 70% asimptotik episode dari non
sustaind ventricular tachycardia.
B-blocker dapat digunakan inisiasi untuk
semua pasien HF, tetapi kombinasi dengan amiodaron tidak meningkatkan outcome.
Komentar
Posting Komentar