SKIZOFRENIA
SKIZOFRENIA
Psikosa (Sakit Jiwa)
disusun oleh Muhammad Akbar
Pengertian
Psikosa
Dengan
meninjau sistem kepribadian (dinamika jiwa):
- Menurut Freud, bahwa kepribadian terdiri atas
tiga sistem/lapis id, ego, super-ego. Susunan teratur, kerjasamanya
harmonis. Pada psikosa: susunan tidak teratur, bahkan antara ego dan
super-ego jadi jenuh, sehingga orang tak dapat menghayati realita.
- Pada penciptaan manusia, di mana disebutkan
diciptakan berjiwa tauhid dan berkepribadian iman dan takwa. Pada manusia
dewasa (umur 20/25 tahun 35/40 tahun), iman dan takwa (kepribadian) harus
sudah mantap/masak. Kalau belum maka diulang, kalau pengulangan dimulai
dari bawah 7 tahun, orang itu disebut menderita sakit jiwa.
Pada
penderita psikosa (sakit jiwa) pada umumnya dan pada penderita skizofrenia
khususnya, terjadi tak kekompakkan dalam aspek-aspek:
- Kontak psikis (hubungan antara penderita dengan
orang lain). Misalnya: Autisme, isolasi diri dan lain-lain.
- Perhatian dan inisiatif. Misalnya: ide paranoid.
- Daya menghayati realitas. Misalnya: waham,
halusinasi dan lain-lain.
- Proses berpikir. Misalnya: logorea, inkoherensi
dan lain-lain.
- Keadaan afek dan kehidupan emosi. Misalnya: afek
datar, ketidak sesuaian afek dan lain-lain.
- Dorongan dan perbuatan instinctual. Misalnya:
hipoaktivitas, hiperaktivitas dan lain-lain.
Di mana kekompakkan aspek-aspek
tersebut merupakan syarat mutlak bagi individu dalam kehidupan/pergaulan dalam
masyarakat:
- Sebagai manusia berke-Tuhanan
- Sebagai manusia individual
- Sebagai manusia sosial
- Sebagai manusia lingkungan
Karenanya penderita sakit jiwa
(psikosa) mengalami gangguan/kemunduran dalam sosialisasinya, kepandaiannya dan
lain-lain, maka timbullah/terbentuklah gejala-gejala gangguan jiwa, (Prayitno,
2004).
Skizofrenia
Pengertian
skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu bentuk
psikosa yang sering dijumpai di mana-mana sejak dahulu kala. Sebelum Kraepelin
tidak ada kesatuan pendapat mengenai berbagai gangguan jiwa yang sekarang
dinamakan skizofrenia, (Kaplan dan Sadock, 2003).
Kraepelin ialah seorang ahli kedokteran
jiwa di kota Munich dan ia mengumpulkan gejala-gejala dan sindroma itu dan
menggolongkannya ke dalam satu kesatuan yang dinamakannya demensia precox.
Menurut Kreapelin pada penyakit ini
terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya; sebab itu dinamakannya demensia
(kemunduran intelegensi) precox (muda, sebelum waktunya), (Kaplan dan
Sadock, 2003).
New Haven (Kaplan dan Sadock, 2003),
memberikan indeks untuk merumuskan pengertian skizofrenia, sebagai berikut :
- a. Waham: tidak
ditentukan atau selain dari deperesif
- Halusinasi
dengar
- Halusinasi lihat
- Halusinasi lain
- a. Pikiran aneh
b.
Automatisme atau pikiran pribadi yang jelas tidak realistik
c.
Pengenduran asosiasi, pikiran tidak logis, overindusion.
d.
Penghambatan
e. Kekonkretan
f. Derealisasi
g. Depersonalisasi
- Afek yang tidak sesuai
- Konfusi
- Ide paranoid (pikiran merujuk pada diri sendiri,
kecurigaan)
- Perilaku katatonik (kegembiraan, stupor,
flesibilitas lilin, negativisme, mutisme, ekolalia, aktivitas motorik
stereotipik).
Untuk dapat dianggap sebagai
skizofrenia, pasien harus memiliki nilai pada butir 1 atau butir 2a, atau 2c.
dan harus mendapatkan skor total sekurangnya 4 poin.
- Gambaran klinis
Perjalanan
penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal, fase
aktif dan fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul
gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari
satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi :
hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan
fungsi perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta
membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak
seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.
Pada fase aktif gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah
laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir
semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan
gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi
atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual di mana
gejala-gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif/psikotiknya
sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang terjadi pada ketiga fase di
atas, pendenta skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan
berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi,
konsentrasi, hubungan sosial), (Luana, 2007).
- Jenis-jenis skizofrenia
Skizofrenia
simpleks
Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala
utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir
biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis
ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang
memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia
semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi
pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia akan mungkin akan menjadi
“pengemis”, “pelacur” atau “penjahat” (Maramis, 2004).
Skizofrenia
hebefrenik
Skizofrenia
hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis (2004) permulaannya
perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun.
Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan
adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-kanakan
sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak sekali.
- Skizofrenia katatonik
Menurut Maramis (2004) skizofrenia katatonik atau
disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan
biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi
gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.
Stupor
katatonik
Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan
perhatian sama sekali terhadap lingkungannya dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan stupor
ini dan mulai berbicara dan bergerak.
Gaduh
gelisah katatonik
Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas
motorik, tapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi
oleh rangsangan dari luar.
- Paranoid
Jenis ini
berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia dan
katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek
atau gejala campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan
skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan, (Maramis, 2004).
- Episode skizofrenia akut
Gejala
skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan mimpi.
Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan
dunia luar dan dirinya sendiri berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti
yang khusus baginya.
Prognosisnya
baik dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang dari enam bulan penderita
sudah baik. Kadang-kadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul
gejala-gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya, (Maramis, 2004).
- Skizofrenia residual
Skizofrenia
residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala primernya Bleuler,
tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah
beberapa kali serangan skizofrenia, (Maramis, 2004).
- Skizofrenia skizoafektif
Pada
skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala skizofrenia terdapat
menonjol secara bersamaan, juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania.
Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul
lagi serangan (Maramis, 2004).
Diagnosis
skizofrenia
Pedoman
Diagnostik PPDGJ III
- Harus
ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
- -
“thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri
yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran
ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
- “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
- “thought broadcasting”= isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya; - -
“delusion of control” = waham tentang dirinya
dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);
- “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifatmistik atau mukjizat; - Halusinasi
auditorik:
- suara
halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
- mendiskusikan
perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara), atau
- jenis
suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
- Waham-waham
menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar
dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan
dunia lain)
- Atau
paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
- halusinasi
yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif
yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu
atau berbulan-bulan terus menerus;
- arus
pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
- perilaku
katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan
stupor;
- gejala-gejala
“negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial;
tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
- Adanya
gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal)
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna
dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed
attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Menurut Bleuler diagnosa skizofrenia sudah boleh
dibuat bila terdapat ganguan-gangguan primer dan disharmoni pada unsur-unsur
kepribadian serta diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder. Sedangkan
Schneider berpendapat bahwa diagnosa sudah boleh dibuat bila terdapat satu dari
gejala-gejala halusinasi pendengaran dan satu gejala gangguan batas ego dengan
syarat bahwa kesadaran penderita tidak menurun (PPDGJ III).
Setionegoro (Maramis, 2004) membuat diagnosa
skizofrenia dengan memperhatikan gejala-gejala pada tiga buah koordinat.
Koordinat pertama (organobiologik) yaitu, autisme, gangguan afek dan emosi,
gangguan asosiasi (proses berfikir), ambivalensi (gangguan kemauan) serta
gangguan aktifitas maupun gangguan konsentrasi. Koordinat kedua (psikologik) yaitu,
gangguan pada cara berfikir yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keperibadian, dengan memperhatikan perkembangan ego, sistematik motivasi dan
psikodinamika dalam interaksi dengan lingkungan. Koordinat ketiga (sosial)
yaitu, gangguan pada kehidupan sosial penderita yang diperhatikan secara
fenomenologik.
Schneider (Kaplan dan Sadock, 2003) memberikan
kriteria diagnosa berdasarkan urutan gejala sebagai berikut:
Gejala urutan pertama:
- Pikiran yang dapat digeser
- Suara-suara yang berdebat atau berdiskusi atau
keduanya
- Suara-suara yang mengkomentari
- Pengalaman pasivitas somatik
- Penarikan pikiran dan
pengalaman pikiran yang dipengaruhi lainnya
- Siar pikiran
- Persepsi bersifat waham
- Semua pengalaman lain yang melibatkan kemauan,
membuat afek dan membuat impuls.
Gejala urutan kedua:
- Gangguan persepsi lain
- Gagasan bersifat waham yang tiba-tiba
- Kebingungan
- Perubahan mood disforik dan euforik
- Perasaan kemiskinan emosional
- “…dan beberapa lainya juga”
Langfeldt (Kaplan dan Sadock, 2003)
memberikan kriteria diagnosis sebagai berikut:
Kriteria gejala
Petunjuk penting ke arah diagnosis
skizofrenia adalah (jika tidak ada tanda gangguan kongnitif, infeksi, atau
intoksikasi yang dapat ditunjukkan).
- Perubahan keperibadian yang bermanifestasi
sebagai penumpulan emosional dengan jenis khusus diikuti oleh hilangnya
inisiatif dan perilaku yang berubah dan seringkali aneh (khususnya pada
hebefrenik, perubahan adalah karakteristik dan petunjuk utama ke arah
diagnosis).
- Pada tipe katatonik, riwayat penyakit dan tanda
tipikal dalam periode kegelisahan dan stupor (dengan negativisme, wajah
berminyak, katalepsi, gejala vegetatif, dll).
- Pada psikosis paranoid,
gejala penting pembelahan keperibadian (atau gejala depersonalisasi) dan
hilangnya perasaan realitas (gejala derealisasi) atau waham primer.
Kriteria perjalanan penyakit
Keputusan akhir tentang diagnosis
tidak dapat dibuat sebelum periode follow-up selama sekurangnya lima
tahun telah menunjukkan perjalanan penyakit yang jangka panjang.
- Prognosis skizofrenia
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu
ada, kebanyakan orang mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi.
Secara umum 25% individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35%
mengalami perburukan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi
siapa yang akan menjadi sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhinya seperti : usia tua, faktor pencetus jelas, onset
akut, riwayat sosial / pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah,
riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung baik dan gejala positif ini
akan memberikan prognosis yang baik sedangkan onset muda, tidak ada faktor
pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial buruk, autistik, tidak
menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung buruk,
gejala negatif, riwayat trauma prenatal, tidak remisi dalam 3 tahun, sering
relaps dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk, (Luana, 2007).
- Pengobatan skizofrenia
- Psikofarmaka
Pada
dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama
pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping: sedasi,
otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis anti psikosis mempertimbangkan
gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan
dengan dosis ekuivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan
respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat,
dapat diganti dengan obat anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak
sama) dengan dosis ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti
psikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik,
maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Bila gejala negatif lebih
menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat anti psikosis atipikal.
Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif
pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping
ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat antipsikotik yang
beredar di pasaran dapat di kelompokkan menjadi dua bagian yaitu anti psikotik
generasi pertama (APG I) dan anti psikotik generasi ke dua (APG ll). APG I
bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal
dan tuberoin fundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi
pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal,
tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi
seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun kognitif.
Selain itu APG I menimbulkan efek samping anti kolinergik seperti mulut kering
pandangan kabur gangguan miksi, defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi
menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg
di antaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan pimozide.
Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan
apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila
dosisnya lebih dan 50 mg di antaranya adalah chlorpromazine dan thiondazine
digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan
sulit tidur. APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA)
atau anti psikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin
pada ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping
extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia
untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon,
(Luana, 2007).
Dalam
pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
- Onset
efek primer (efek klinis): 2-4 minggu. Onset efek sekunder (efek
samping): 2-6 jam.
- Waktu
paruh: 12-24 jam (pemberian 1-2x per hari)
- Dosis
pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga tidak
mengganggu kualitas hidup penderita.
- Obat
anti psikosis long acting: fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau
haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4ininggu. Berguna untuk pasien
yang tidak/sulit minum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.
Cara atau
lama pemberian
Mulai dengan
dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari sampai
mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi setiap 2 minggu bila
pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian dipertahankan 8-12 minggu
(stabilisasi). Diturunkan setiap 2 minggu (dosis maintenance) lalu
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holidaytapering off
(dosis diturunkan 2-4 minggu) lalu dihentikan..
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis multi episode, terapi pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5 kali). Pada umumnya pemberian obat anti psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis reda sama sekali. Pada penghentian mendadak dapat timbul gejala cholinergic rebound gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian antikolinergikt seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg (secara intra muskular), tablet trihexyphenidyl 3x2 mg/hari, (Luana, 2007). 1-2/hari/minggu) setelah itu
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis multi episode, terapi pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5 kali). Pada umumnya pemberian obat anti psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis reda sama sekali. Pada penghentian mendadak dapat timbul gejala cholinergic rebound gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian antikolinergikt seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg (secara intra muskular), tablet trihexyphenidyl 3x2 mg/hari, (Luana, 2007). 1-2/hari/minggu) setelah itu
- Psikososial
Ada beberapa
macam metode yang dapat dilakukan antara lain:
- Psikoterapi
individual
- Terapi
suportif
- Sosial
skill training
- Terapi
okupasi
- Terapi
kognitif dan perilaku (CBT)
- Psikoterapi
kelompok
- Psikoterapi
keluarga
- Manajemen
kasus
Assertive Community Treatment (ACT)
- Kekambuhan skizofrenia
Kekambuhan gangguan jiwa pisikotik adalah munculnya
kembali gejala-gejala pisikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif hubungan dengan beberapa kali masuk Rumah
Sakit (RS), lamanya dan perjalanan penyakit. Penderita-penderita yang kambuh
biasanya sebelum keluar dari RS mempunyai karakteristik hiperaktif, tidak mau
minum obat dan memiliki sedikit keterampilan sosial, (Porkony dkk, 1993).
Porkony dkk (1993), melaporkan
bahwa 49% penderita Skizofrenia mengalami rawat ulang setelah follow up selama 1 tahun, sedangkan penderita-penderita non Skizofrenia hanya 28% .
Solomon dkk (1994), melaporkan bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan
30%-40% penderita mengalami kekambuhan, sedangkan setelah 1 tahun pasca rawat
40%-50% penderita mengalami kekambuhan, dari setelah 3-5 tahun pasca rawat
didapatkan 65%-75% penderita mengalami kekambuhan, (Porkony dkk,
1993).
Penderita dengan skizofrenia dapat
mengalami remisi dan kekambuhan, mereka dapat dalam waktu yang lama tidak
muncul gejala, maka skizofrenia sering disebut dengan penyakit kronik, karena
itu perlu mendapatkan perhatian medis yang sama, seperti juga individu-individu
yang menderita penyakit kronik lainnya seperti hipertensi dan diabetes
mellitus.
Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan
skizofrenia, antara lain tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara
teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya
dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang
berat yang membuat stress, (cybermed.cbn.net.id).
Empat faktor penyebab penderita kambuh dan perlu
dirawat di rumah sakit, menurut Sullinger, 1988:
Penderita
Sudah umum
diketahui bahwa penderita yang gagal memakan obat secara teratur mempunyai
kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25% sampai
50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur
(Appleton, 1982, dikutip oleh Sullinger, 1988).
Dokter
Makan obat
yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun pemakaian obat neuroleptic yang
lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat
mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
Penanggung
jawab penderita
Setelah
penderita pulang ke rumah maka pihak rumah sakit tetap bertanggung jawab atas
program adaptasi penderita di rumah.
Keluarga
Berdasarkan
penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi
(bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan), hasilnya
57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17%
kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain
itu penderita juga mudah dipengaruhi oleh stres yang menyenangkan (naik
pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi
keluarga penderita dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stres. Cara
terapi bisanya: mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi kesempatan
menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi kesempatan untuk menambah ilmu dan
wawasan baru kepada penderita ganguan jiwa, memfasilitasi untuk menemukan
situasi dan pengalaman baru bagi penderita.
Beberapa gejala
kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan keluarganya yaitu: menjadi
ragu-ragu dan serba takut, tidak nafsu makan, sukar konsentrasi, sulit tidur,
depresi, tidak ada minat serta menarik diri, (Iyus, 2007).
Untuk dapat hidup dalam masyarakat, maka penderita
skizofrenia perlu mempelajari kembali keterampilan sosial. Penderita-penderita
yang baru keluar dari RS memerlukan pelayanan dari masyarakat agar mereka dapat
menyesuaikan diri dan menyatu dalam masyarakat. Tingginya angka rehospitalisasi
merupakan tanda kegagalan dalam sistem masyarakat. Penderita kronis di dalam
masyarakat membutuhkan dukungan hidup yang dapat dipertahankan untuk waktu yang
lama. Beberapa penderita tetap dapat mengalami kekambuhan
meskipun mereka mendapatkan pelayanan pasca rawat (after care services)
pada instansi-instansi. Lin dkk (1982) melaporkan bahwa 36% dari penderita
skizofrenia yang tinggal di panti setelah perawatan di RS tetap mengalami
kekambuhan, (Porkony dkk, 1993).
Hubungan antara Dukungan Sosial
Keluarga dengan Kekambuhan Skizofrenia
Sullivan
mengemukakan teori psikodinamika skizofrenia berdasarkan perjalanan-perjalanan
klinik, di mana pusat dari psikopatologinya adalah gangguan kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain. Lingkungan, terutama keluarga memegang peran
penting dalam proses terjadinya skizofrenia. Pernyataan ini juga berlaku
sebaliknya, lingkungan, terutama keluarga memegang peran penting dalam proses
penyembuhan skizofrenia. Sebab, dikatakan oleh Sullivan bahwa skizofrenia
merupakan hasil dari kumpulan pengalaman-pengalaman traumatis dalam hubungannya
dengan lingkungan selama masa perkembangan individu (Kaplan dan Sadock, 2003).
Titik berat
penelitian-penelitian tentang dukungan sosial keluarga dan gangguan psikotik
terutama skizofrenia adalah pada efek yang menghapuskan hubungan traumatik
sendiri seperti pernyataan emosi, rasa kebersamaan yang semu, mencari kambing
hitam dan keterikatan ganda. Aspek-aspek dukungan sosial keluarga terdiri dari
empat aspek yaitu aspek informatif, aspek emosional dan aspek penilaian atau
penghargaan serta aspek instrumental, sebagaimana yang dikatakan oleh House dan
Kahn (1995) tersebut di atas di titik beratkan pada besar dan padatnya jaringan
kerja sosial, misalnya hubungan dengan keluarga dan sifat-sifat hubungan
sebelumnya, (Breier & Strauss, 1994).
Hal ini
menunjukkan bahwa kuat lemahnya dukungan sosial keluarga terhadap penderita
berpengaruh terhadap tingkat kesembuhan skizofrenia. Semakin kuat dukungan
sosial keluarga terhadap penderita memungkinkan semakin cepat tingkat
kesembuhan skizofrenia. Sebaliknya semakin lemah dukungan sosial keluarga
terhadap penderita memungkinkan semakin lama tingkat kesembuhan skizofrenia.
Demikian juga halnya dengan kekambuhan skizofrenia, terkait dengan kuat
lemahnya dukungan sosial keluarga.
Didapatkan
12 fungsi hubungan sosial dan 2 fase kebutuhan sosial yang penting selama
periode penyembuhan (Breier & Strauss, 1994). Fungsi-fungsi yang menolong
dalam hubungan sosial tersebut adalah 1) ventilasi, 2) tes realita, untuk
menilai kemampuan penderita di dalam membedakan realita, 3) macam dukungan
sosial terutama keluarga, 4) persetujuan dan perpaduan sosial terutama keluarga
dan lingkungan dekatnya, di mana penderita ingin diterima kembali dalam
lingkungan sosialnya dan mengharapkan hubungan dengan orang-orang yang
dikenalnya sebelum ia masuk RS, 6) motivasi, 7) pembentukan, di mana penderita
mencontoh tingkah laku orang lain untuk meningkatkan fungsi sosialnya, 8)
pengawasan gejala, 9) pemecahan masalah, 10) pengertian yang empatik, 11)
saling memberi dan menerima, 12) insight.
Fase
kebutuhan sosial adalah 1) fase penyembuhan, penderita sangat membutuhkan
perhatian dari keluarganya karena tidak dapat mandiri, fungsi hubungan sosial
yang digunakan di sini adalah macam dukungan dan ventilasi, 2) fase pembentukan
kembali, fungsi hubungan sosial yang digunakan adalah motivasi, saling memberi
dan menerima, pengawasan gejala. 12 fungsi hubungan sosial dan 2 fase kebutuhan
sosial yang penting selama periode penyembuhan (Breier dan Strauss, 1994)
tersebut sangat erat kaitannya dengan dukungan sosial keluarga.
Pemberian
obat antipsikotik dapat mengurangi resiko kekambuhan, tetapi obat-obatan
tersebut tidak dapat mengajarkan tentang kehidupan dan keterampilan meskipun
dapat memperbaiki kualitas hidup penderita melalui penekanan gejala-gejala.
Pengajaran kehidupan dan keterampilan sosial hanya mungkin didapat penderita
melalui dukungan sosial keluarga. Dari penelitian didapat bahwa 45% penderita
skizofrenia yang mendapat pengobatan antipsikotik akan mengalami kekambuhan
dalam waktu 1 tahun pasca rawat, sedangkan penderita yang diberi plasebo 70%
kambuh, (Kaplan dan Sadock , 2003).
Hal ini
berarti pengobatan skizofrenia harus dilakukan dengan cara interaksi
multidimensional. Gejala-gejala dan ketidakmampuan sosial serta ketidakmampuan
individual yang di tunjukkan merupakan hasil dari benturan-benturan yang
dialami dalam kehidupan. Angka kekambuhan dalam waktu 1 tahun pasca rawat pada
penderita skizofrenia yang mendapat latihan keterampilan sosial adalah 20%,
penderita yang mendapat pengobatan antipsikotik 41% dan 19% penderita yang pada
keluarga diberikan psikoedukasi. Penderita yang mendapat latihan keterampilan
sosial, obat antipsikotik dan psikoedukasi keluarga dilaporkan tidak ada yang
kambuh, (Kaplan dan Sadock, 2003).
Komentar
Posting Komentar