Hipertensi
HIPERTENSI
Dipiro, J.T., et.Al. (2008), Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach
DEFINISI
Hipertensi didefinsikan sebagai kenaikan tekanan darah
arterial yang bertahan. The Sixth Joint Natinal Comitte on the Detection,
Evaluation, dan Treatment of High Blood Presure (JNC-VI) menggolongkan tekanan
darah dewasa.
Pasien dengan nilai diastolic blood presure (DBP)
<90 mmHg dan systolic blood presure (SBP) >140 mmHg mempunyai
hipertensi terbatas pada sistolik.
Peningkatan bermakna pada tekanan darah (ke level
lebih tinggi stage 3) adalah krisis hipertensi, yang bisa melambangkan hypertensive
emergency (kenaikan tekanan darah dengan cedera akut target organ) atau
hypertensive urgency (hipertensi akut tanpa tanda atau simtom komplikasi akut
target organ).
PATOFISIOLOGI
Hipertensi adalah kelainan heterogen yang bisa muncul
dari penyebab spesifk (hipertensi sekunder) atau dari mekanisme patofisiologi
yang tidak diketahui penyebabnya (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi
sekunder terjadi pada kurang dari 5% kasus, dan kebanyakan disebabkan oleh
renoparenchymal kronik atau penyakit renovascular. Kondisi lain yang
menyebabkan hipertensi sekunder termasuk pheochromacytoma, sindroma Cushing,
hipertiroid, hiperparatiroid, aldosteronisme primer, kehamilan, peningkatan
tekanan intercranial, dan koarktasi (penyempitan) aorta. Beberapa obat yang
bisa menaikkan tekanan darah termasuk kortikosteroid, estrogen,
amfetamin/anorexians, MAO inhibitor, dekongestan oral, venlafaxine,
siklosporin, NSAID, dan hormon tiroid.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan pengembangan
hipertensi primer, termasuk:
- Gangguan
patologis pada central nervous system (CNS), serat saraf otonom, reseptor
adrenergik, atau baroreseptor.
- Abnormalitas
pada renal atau jaringan autoregulator yang mengatur proses ekskresi
natrium, volume plasma, dan konstriksi alteriolar.
- Abnormalitas
humoral, termasuk renin-angiotensin-aldosteron system (RAS), hormon
natriuretik, atau hiperinsulinemia.
- Defisiensi
pada sintesis setempat substan vasodilator pada endotel vascular, seperti
prostasiklin, bradikinin, dan nitric oxide, atau peningkatan produksi
substan vasokonstriktor seperti angitensin II dan endotelin I.
- Asupan
natrium yang tinggi dan peningkatan hormon natriuretik di sirkulasi yang
menginhibisi transpor natrium intraseluler, sehingga reaktivitas vaskular
meningkat dan tekanan darah naik.
- Peningkatan
konsentrasi kalsium intraseuler, sehingga fungsi otot polos vaskular
berubah dan terjadi peningkatan tahanan vaskular perifer.
Penyebab utama kematian pada pasien hipertensi adalah
kejadian cerebrovascular, cardiovascular, dan gagal ginjal. Kemungkinan untuk
kematian prematur berkaitan dengan tingkat keparahan naiknya tekanan darah.
CIRI KLINIK
- Pasien
dengan hipertensi primer uncomplicated biasanya awalnya asimtomatik.
- Pasien
dengan hipertensi sekunder biasanya mengeluh mengenai simtom yang dari
situ bisa dicari penyebabnya. Pasien dengan pheochromocytoma bisa
mempunyai riwayat sakit kepala paroksimal, berkeringat, takikardi,
palpitasi, pusing orthostatik, atau sinkop. Pada aldosteronisme primer,
simtom hipokalemik kejang otot dan merasa lemah bisa muncul. Pasien dengan
hipertensi sekunder karena sindroma Cushing bisa mengeluh beratnya
bertambah, poliuria, edema, menstruasi tidak teratur, sering muncul
jerawat, atau otot yang lemah.
DIAGNOSIS
Seringkali,
satu-satunya tanda hipertensi primer pada pemeriksaan fisik adalah kenaikan
tekanan darah. Diagnosis hipertensi harus berdasar pada rerata dua atau lebih
pemeriksaan yang diambil tiap dua atau lebih kunjungan.
Pada perkembangannya,
tanda kerusakan organ mulai muncul, terutama terkait pada perubahan patologis
di mata, otak, jantung, ginjal, dan pembuluh darah perifer.
Pemeriksaan funduscopic
bisa menunjukkan penyempitan arteriolar, penyempitan arterioral focal, arteriovenous
nicking, dan hemorrhage retina, exudates, dan infark. Munculnya papilledema
mengindikasikan hypertensive emergency yang memerlukan perawatan secepatnya.
Pemeriksaan
cardiopulmonal bisa menunjukkan denyut jantung atau ritme yang abnormal,
hipertropi ventrikular, precordil heave, murmur (suara jantung yang
tidak biasa menandakan kelainan fungsional atau struktural), third or fourth
heart sounds, dan rales (suara abnormal yang terdengar mengikuti suara
respirasi normal).
Pemeriksaan vaskular
perifer bisa mendeteksi bukti atherosklerosis, yang bisa muncul sebagai bruits
(suara yang terdengar sewaktu diagnosa dengan stetoskop) aortic atau abdominal,
pembesaran vena (karena tekanan internal), hilangnya denyut perifer, atau edema
ekstremitas bawah.
Pasien dengan stenosis
arteri renal bisa mempunyai bruit sistolik-diastolik yang abnormal. Mereka yang
dengan sindroma Cushing bisa mempunyai ciri fisik klasik moon face, buffalo
hump (…), hirsutisme, dan striae (area pada kulit berbentuk garis dengan
perbedaan jelas dengan sekitarnya) abdominal.
Serum kalium rendah
sebelum dimulainya terapi antihipertensi bisa menandakan hipertensi yang
dirangsang oleh mineralokortikoid. Adanya protein, sel darah, dan casts
di urine bisa mengindikasikan penyakit parenkim ginjal.
Tes laboratorium
sebaiknya didapatkan pada semua pasien untuk memulai terapi obat termasuk
urinalysis, hitung sel darah lengkap, kandungan kimia serum (natrium, kalium,
kreatinin, glukosa sewaktu puasa, dan total kolesterol serta HDL-C), dan
12-lead ECG. Tes ini digunakan untuk menaksir faktor resiko lainnya dan untuk
membuat data baseline untuk monitorng perubahan metabolik karena obat.
Tes laboratorium yang
lebih spesifik digunakan untuk mendiagnosa hipertensi sekunder. Ini termasuk
norepinefrin plasma dan level metanefrin urin untuk pheochromocytoma, level
plasma dan urin aldosterone untuk aldosteronisme primer, dan aktivitas plasma
renin, tes stimulasi kaptopril, renin vena renal, dan angiografi arteri renal
untuk penyakit renovascular.
HASIL YANG DIINGINKAN
Tujuan umum perawatan hipertensi adalah mengurangi
morbiditas dan mortalitas dengan cara intrusi terakhir yang mungkin.
Tekanan darah yang diinginkan adalah <140/90 untuk
uncomplicated hypertension; <130/85 untuk pasien dengan diabet melitus,
gangguan fungsi ginjal, atau gagal jantung; <125/75 untuk mereka dengan
penyakit renal parah dengan proteinuria >1 g/hari; dan <140 mmHg
(sistolik) untuk isolated systolic hypertension.
PERAWATAN
Terapi non Farmakologi
- Skema
perawatan JNC-VI untuk hipertensi pada Gambar 9-1.
- Faktor
resiko utama untuk perkembangan komplikasi hipertensi harus diketahui. Ini
termasuk merokok, dislipidemia, diabetus melitus, usia >60 tahun, jenis
kelamin (pria dan wanita pasca menopause), dan riwayat keluarga untuk
penyakit cardiovascular prematur. Obesitas dan gaya hidup sedentary bisa
juga meningkatkan resiko hipertensi dan penyakit cardiovascular.
- Semua
rencanca perawatan sebaiknya dimulai dari perubahan gaya hidup, termasuk:
(1) pengurangan berat jika berlebih; (2) membatasi asupan alkohol sampai <1
ounce per hari; (3) meningkatkan aktivitas fisik aerobic; (4) mengurangi
asupan natrium sampai <2,4 g/hari (6 g/hari natrium klorida);
(5) menjaga asupan yang cukup dari makanan untuk kalium, kalsium, dan
magnesium; (6) mengurangi asupan lemak jenuh dan kolsterol dari makanan;
dan (7) menghentikan merokok.
Terapi Farmakologi
- Pemilihn
obat sebaiknya berdasar pada bukti ilmiah untuk efek pada pengurangan
morbiditas dan mortalitas, keamanan, biaya, dan adanya penyakit lain dan
faktor resiko lain.
- Pasien
dengan uncomplicated hypertension sebaiknya menerima diuretik thiazide
atau β blocker (Tabel 9-2). Hanya sekitar 40% pasien yang mendapatkan
kontrol tekanan darah dengan agen tunggal. Obat pilihan kedua harus
mempunyai efek antihipertensi aditif dan memperbaiki kondisi medis
sebelumnya. Jika duretik bukan merupakan obat pertama, diuretik sebaiknya
menjadi obat kedua pada regimen jika tidak kontraindikasi.
- Jika
kondisi yang sebelumnya dialami melarang penggunaan diuretik thiazide atau
β blocker, alternatif terbaik adalah ACE inhibitor, Ca channel blocker,
angiotensin II reseptor blocker, dan, terkadang, α blocker. Agonis α2
yang bekerja sentral, inhibitor adrenergic dan vasodilator digunakan untuk
pasien dengan hipertensi yang sulit dikontrol.
Duretik
- Thiazide
umumnya merupakan diuretik pilihan untuk perawatan hipertensi, dan
semuanya sama-sama efektif untuk menurunkan tekanan darah. Pada pasien
dengan fungsi ginjal yang baik (yaitu, glomerulus filtration rate,
GFR, >30 /ml menit), thiazide menjadi lebih efektif daripada loop
diuretic. Tetapi, jika fungsi ginjal menurun, natrium dan air
terakumulasi, penggunaan loop duretic perlu untuk melawan efek ekspansi
volume dan natrium pada tekanan darah arterial.
- Diuretik
hemat kalium adalah antihipertensi lemah ketika digunakan tunggal tapi
memberikan efek aditif antihipertensi ketika digabungkan dengan
thiazide atau loop diuretic. Lebih jauh, duretik hemat kalium tidak
mempunyai sifat menyebabkan kehabisan kalium dan magnesium seperti pada
diuretik lain.
- Diuretik
menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis. Pengurangan pada
volume plasma dan stroke volume yang dihubungkan dengan diuretik
menurunkan cardiac output dan, sebagai hasilnya, tekanan darah. Penurunan
awal pada cardiac output menyebabkan peningkatan untuk kompensasi pada
tahanan vascular perifer. Dengan terapi diuretik kronik, volume cairan
ekstraseluler dan volume plasma kembali hampir ke level sebelum perawatan
(pretreatmeant), dan tahanan vascular perifer jatuh di bawah baseline
pretreatmeant. Pengurangan pada tahanan vascular perifer bertanggungjawab
untuk efek hipotensi jangka panjang. Telah dipostulatkan bahwa thiazides
menurunkan tekanan darah dengan memindahkan natrium dan air dari dinding
arteriolar.
- Ketika
diuretik digabungkan bersama dengan antihipertensi lain, efek aditif
antihipertensi biasanya teramati karena mekanisme kerja yang independen.
Lebih jauh, banyak agen antihipertensi non diuretik merangsang retensi air
dan natrium, yang berlawanan dengan efek diuretik.
- Efek
samping thiazides termasuk hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia,
hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual. Loop
diuretic mempunyai efek lebih kecil pada serum lipid dan glukosa, tapi
hipokalsemia bisa terjadi.
- Hipokalemia
dan hipomagnesia karena diuretik bisa menyebabkan kejang otot. Cardiac
aritmia juga bisa terjadi, terutama pada pasien yang menerima terapi
digitalis, pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri, dan mereka dengan
penyakit iskemi jantung. Resiko hipokalemia dan efek metabolik lainnya
dikurangi dengan membatasi dosis harian (seperti, 12,5-25 mg
hydrochlorothiazide atau 25 mg chlorthalidone).
- Diuretik
hemat kalium bisa menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal atau diabetes, dan pasien yang menerima perawatan
dengan ACE inhibitor, NSAID, atau suplemen kalium. Spironolakton bisa
menyebabkan ginekomasti.
Β-adrenergic blocker
- Mekanisme
hipotensi yang pasti dari β blocker masih belum jelas tapi melibatkan
penurunan cardiac output melalui kronotropik negatif dan efek inotropik
pada jantung dan inhibisi pelepasan renin dari ginjal.
- Meski
ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik yang penting pada berbagai
β blocker, tidak ada perbedaan pada efek klinik untuk antihipertensi.
- Bisoprolol,
metoprolol, atenolol, dan asebutolol adalah cardioselective pada dosis
rendah dan mengikat lebih kuat pada respetor β1 daripada
reseptor β2. sebagai hasil, agen-agen ini lebih jarang
menyebabkan bronkospasma dan vasokontriksi dan bisa lebih aman dari β
blocker non selective pada pasien dengan asma, chronic obstructive
pulmnary disease (COPD), diabetes, dan penyakit vascular verifer.
- Cardioselektivitas
adalah fenomena tergantung dosis, dan efeknya hilang pada dosis lebih
tinggi.
- Pindolol,
penbutolol, carteolol, dan acebutolol mempunyai intrinsic sympathomimetic
activity (ISA) atau aktivitas agonis parsial terhadap reseptor β. Ketika
tonus simpatik rendah, seperti pada waktu istirahat, reseptor β
distimulasi parsial, jadi denyut jantung istirahat, cardiac output, dan aliran
darah perifer tidak dikurangi ketika reseptor diblock. Teorinya, obat ini
bisa mempunyai keuntungan pada pasien dengan borderline heart failure,
bradikardia sinus, atau mungkin penyakit vascular perifer. Tetapi, agen
dengan ISA sebaiknya tidak digunakan karena bisa meningkatkan resiko
infark myocardia.
- Ada
perbedaan farmakokinetik diantara β blocker pada metabolisme lintas
pertama (first pass metabolism, FPM), waktu paruh serum, derajat
lipofilitas, dan rute eliminasi. Propanolol dan metoprolol mengalami FPM
yang hebat. Atenolol dan nadolol, yang waktu paruhnya relatif panjang,
diekskresikan melalui renal, dan dosisnya perlu disesuaikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Bahkan meski waktu paruh β blocker
lainnya lebih pendek, pemberian sekali sehari masih bisa efektif. β
blocker berbeda pada sifat lipofilitasnya dan sehingga penetrasinya ke
CNS.
- Efek
samping dari blokade β pada myocardium termasuk bradikarida, abnormalitas
pada konduksi atrioventricular (AV), dan gagal jantung. Blokade β
pulmonal bisa menyebabkan bronkospasma makin parah pada pasien asma atau
CPOD. Blokade reseptor β2 pada arteriolar otot polos bisa
menyebabkan ekstremitas menjadi dingin dan memperburuk claudication
yang terjadi dalam interval atau fenomena Raynaud karena penurunan aliran
darah perifer.
- Penghentian
mendadak terapi β blocker bisa menyebabkan unstable angina, infark
myocardia, atau bahkan kematian pada pasien yang rentan terhadap kejadian
iskemi myocardial. Pada pasien tanpa penyakit jantung koroner, penghentian
tiba-tiba terapi β blocker bisa dihubungkan dengan sinus takikardia,
sering berkeringat, dan malaise. Untuk alasan ini, merupakan tindakan
bijak untuk menurunkan dosis secara bertahap selama 14 hari sebelum
dihentikan.
- Peningkatan
serum lipid dan glukosa tampaknya hanya sementara dan mempunyai
peran klinik yang kecil. β blocker meningkatkan level serum trigliserida
dan menurunkan level HDL-C. β blocker dengan sifat α blocker
(seperti, labetolol) tidak menghasilkan perubahan yang berarti pada konsentrasi
serum lipid.
- Pada
pasien dengan diabetes, β blocker mengurangi simtom hipoglisemia dan bisa
memperpanjang durasi hipoglisemia. Sehingga, penggunannya harus hati-hati
pada diabetes yang dikontrol dengan ketat, dan agen cardioselective yang
sebaiknya digunakan.
ACE Inhibitor
- ACE
didistribusikan secara luas di banyak jaringan, dengan beberapa tipe sel
yang berbeda, tapi lokasi umumnya pada sel endotelal. Karena endotel
vascular meliputi area yang luas, tempat utama produksi angiotensin II
adalah pembuluh darah, bukan ginjal. ACE inhibitor menghalangi perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor poten yang
merangsang sekresi aldosteron. ACE inhibitor juga menghalangi degradasi
bradikinin dan merangsang sintesis senyawa vasodilator lain, seperti
prostaglandin E2 dan prostasiklin. Fakta bahwa ACE inhibitor
menurunkan tekanan darah pada pasien dengan plasma renin normal dan
aktivitas ACE mengindikasikan pentingnya bradikinin dan mungkin produksi
ACE di jaringan sebagai penyebab meningkatnya tahanan vascular perifer.
- Analapril
dan lisinopril diberikan sekali sehari, dan benazapril, captopril,
fosinopril, moexipril, quinapril, ramipril, dan trandolapril bisa
memberikan pengurangan tekanan darah selama 24 jam dengan pemberian sekali
atau dua kali sehari. Absorpsi captopril (tapi bukan enalapril atau
lisinopril) berkurang 30-40% dengan adanya makanan di lambung.
- Sekitar
10% pasien yang mengkonsumsi captopril mengalami kulit kemerahan, yang
terkadang cepat hilang dengan dosis yang lebih kecil dan melanjutkan
perawatan. Hilangnya kemampuan mengecap reversibel atau gangguan dalam
pengecapan (dysgeusia) telah dilaporkan pada sekitar 6% pasien yang
menerima captopril. Tingginya kejadian kulit kemerahan, dysgeusia, dan
proteinuria dengan captopril dihubungkan dengan gugus sulfhydril yang
tidak terdapat di enalapril maupun lisinopril. Sekitar 10-20% pasien
mengalami batuk yang sulit hilang pada pemberian ACE inhibitor; pasien ini
bisa menerima antagonis reseptor angiotensin II sebagai pengganti.
- Hipotensi
akut bisa terjadi pada onset terapi ACE inhibitor, terutama pada
pasien yang natrium dan volume airnya berkurang banyak. Mungkin perlu
untuk menghentikan diuretic dan mengurangi dosis agen antihipertensi lain
sebelum memulai terapi. Penting untuk memulai terapi ACE inhibitor pada
dosis rendah dengan penambahan secara titrasi.
- Efek
samping paling serius dari ACE inhibitor adalah netropenia dan
agranulocytosis, proteinuria, glomerulonephritis, gagal ginjal akut, dan
angoiedema; efek ini terjadi pada <1% pasien. Pasien yang sebelumnya
mengidap penyakit ginjal atau jaringan connective paling rentan
terhadap efek samping ginjal dan hematologis. Pasien dengan stenosis
arteri renal bilateral atau stenosis unilateral dari ginjal yang bekerja
sendiri dan pasien yang tergantung pada efek vasokontriksi dari
angiotensin II pada arteriol efferent paling rentan terhadap terjadinya
gagal ginjal akut.
- Hiperkalemia
terlihat umumnya pada pasien dengan penyakit ginjal atau diabetes melitus
(terutama dengan asidosis renal tipe IV) atau pada pasien yang menerima
NSAID, suplemen kalium, atau diuretik hemat kalium.
- ACE
inhibitor tidak boleh diberikan selama kehamilan karena ancaman masalah
neonatal yang serius, termasuk kegagalan ginjal dan kematian pada bayi,
telah dilaporkan pada ibu yang mengkonsumsi agen ini selama trimester
kedua dan ketiga.
Angiotensin II Receptor Blocker
- Angiotensin
II dihasilkan oleh jalur renin-angiotensin (yang melibatkan ACE) dan jalur
alternatif yang menggunakan enzim lain sepeti chymases. ACE inhibitor menghambat
hanya jalur renin-angiotensin, sedangkan angiotensin II receptor blocker
mengantagonis angiotensin II yang dibuat dari kedua jalur. Angiotensin II
receptor blocker secara langsung menghambat reseptor AT1
angiotensin yang memediasi efek angiotensin II (vasokonstriksi, pelepasan
aldosterone, aktivasi simpatik, pelepasan antidiuretic hormone, dan
konstriksi arteriol efferen dari glomerulus).
- Tidak
seperti ACE inhibitor, obat ini tidak menghambat pemecahan bradikinin. Ini
memang mengurangi efek samping batuk, tapi bisa ada konsekuensi merugikan
karena beberapa efek antihipertensi dari ACE inhibitor bisa karena
peningkatan level bradikinin. Bradikinin bisa juga penting untuk regression
hipertropi myosit, regression fibrosis, dan peningkatan level aktivator
plasminogen jaringan.
- Semua
obat dalam kelas ini mempunyai efek antihipertensi yang serupa dan kurva
respon-dosis yang relatif datar. Penambahan dosis kecil thiazide bisa
meningkatkan efeknya.
- Karena
efeknya pada cardiovascular outcome dalam jangka panjang yang tidak tentu,
agen ini sebaiknya tidak dianggap equivalen ACE inhibitor pada saat ini.
Agen ini berguna pada pasien yang membutuhkan ACE inhibitor (seperti,
gagal jantung, diabetes) tapi tidak bisa mentolerirnya (terutama karena
batuk) meski telah dicoba untuk mengurangi dosis atau pemberian ACE
inhibitor alternatif.
Calcium Channel Antagonist
- Calcium
channel antagonist menyebabkan relaksasi otot cardiac dan otot polos
dengan mem-block voltage-sensitive calcium channel, sehingga mengurangi
masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot polos vascular
menyebabkan vasodilatasi dan reduksi pada tekanan darah. Dihydropyridine
calcium channel antagonist bisa menyebabkan aktivas refleks simpatik, dan
semua agen (kecuali amodipine) bisa menghasilkan efek inotropik negatf.
- Verapamil
menurunkan tekanan darah, memperlambat konduksi AV nodal, dan menghasilkan
efek inotropik negatif yang bisa menyebabkan gagal jantung pada pasien
dengan borderline cardiac reserve. Diltiazem menurunan konduksi AV
dan denyut jantung sampai tingkatan yang lebih rendah dari verapamil.
- Diltiazem
dan verapamil jarang menyebabkan abnormalitas konduksi cardiac seperti
bradikardia, AV block, dan gagal jantung. Keduanya bisa menyebabkan
anoreksia, mual, edema perifer, dan hipotensi. Verapamil menyebabkan
konstipasi pada sekitar 7% pasien.
- Nifepidine
dan, sampai tingkat yang lebih rendah, derivat dihydropiridine lainnya
menyebabkan peningkatan reflek yang dimediasi baroreseptor pada denyut
jantung karena efek vasodilator perifer mereka yang poten. Dihydropiridine
biasanya tidak menurunkan konduksi AV nodal.
- Nifedipine
jarang menyebabkan peningkatan frekuensi, intensitas, dan durasi angina
yang dikaitkan dengan hipotensi akut. Efek ini bisa dicegah dengan
penggunaan sediaan lepas lambat nifepidine atau dihydropiridine lainnya.
Efek samping lain dari dihydropiridine termasuk pusing, wajah memerah
(flushing), sakit kepala, gingival hyperplasia, edema perifer, perubahan
mood, dan keluhan saluran cerna. Efek samping karena vasodilatasi seperti
pusing, flushing, sakit kepala, dan edema perifer terjadi lebih sering
dengan dihydropiridine dari verapamil atau diltiazem.
Blocker Reseptor α1 Perifer
- Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah blocker
selektif untuk reseptor α1 yang tidak merubah aktivitas
reseptor α2 dan sehingga tdak menyebabkan reflek takikardi.
- Pada dosis yang lebih tinggi dan terkadang dengan
pemberian kronik dosis rendah, akumulasi air dan natrium menyebabkan
perlunya terapi diuretik untuk mempertahankan efek hipotensi.
- Efek samping CNS termasuk lassitude (kehabisan
tenaga, stamina), vivid dream, dan depresi. Fenomena
dosis-pertama dicirikan dengan hipotensi ortostatik, pusing atau lemas
yang segera hilang, palpitasi, dan bahkan sinkop yang terjadi dalam 1-3
jam dosis pertama atau nanti setelah dosis meningkat. Kejadian ini bisa
dicegah dengan memberikan dosis pertama, dan peningkatan pertama dosis, sebelum
tidur. Terkadang, pusing ortostatik bertahan dengan pemberian kronik.
- Karena dari data bisa disimpulkan bahwa
doxazosin (dan mungkin reseptor α1 blocker lainnya) tidak
melindungi terhadap kejadian cardiovascular seperti terapi lain,
penggunaannya pada dosis rendah sebaiknya dibatasi untuk kasus unik
seperti pada pria dengan hiperplasia prostat ganas jika mereka telah
menerima terapi antihipertensi standar lainnya (diuretik, β blocker, atau
ACE inhibitor).
Agonis Reseptor α2 Sentral.
- Clonidine,
guanabenz, guanfacine, dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama
dengan menstimulasi reseptor α2 adrenergic di otak, yang
mengurangi symphatetic outflow dari pusat vasomotor dan meningkatkan tonus
vagal. Stimulasi reseptor α2 presinap secara perifer bisa
berperan pada pengurangan tonus simpatik. Konsekuensinya, bisa ada
penurunan denyut jantung, cardiac output, tahanan perifer total, aktivitas
plasma renin, dan reflek baroreseptor.
- Penggunaan
kronik menyebabkan retensi natrium dan cairan, yang tampaknya paling jelas
dengan metildopa. Dosis rendah dari clonidine, guanfacine, atau guanabenz
bisa digunakan untuk merawat hipertensi ringan tanpa perlu menambahkan
diuretik.
- Sedasi
dan mulut kering adalah efek samping umum yang bisa hilang dengan dosis
rendah kronik. Dan seperti antihipertensi lain yang bekerja sentral, bisa
terjadi depresi.
- Penghentian
mendadak bisa menyebabkan rebound hypertension (peningkatan mendadak
tekanan darah sampai ke level sebelum perawatan) atau overshoot
hypertension (peningkatan tekanan darah lebih tinggi dari level sebelum
perawatan). Ini diperkirakan terjadi setelah kompensasi peningkatan pada
pelepasan norepinefrin yang mengikuti penghentian stimulasi reseptor α
presinap.
- Metildopa
jarang menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik. Peningkatan singkat
pada hepatic transaminase kadang terjadi dengan metildopa dan secara
klinik tidak penting. Peningkatan yang bertahan pada serum transaminase
atau alkaline phosphatase bisa mendahului onset fulminant
hepatitis(hepatitis yang terjadi mendadak dalam keadaan sangat
parah), yang bisa fatal. Anemia hemolitik Coombs-positive terjadi pada
<1% pasien yang menerima metildopa, meski 20% tes direct-Coomb-nya
positif tanpa mengalami anemia. Untuk alasan ini, metildopa mempunyai
kegunaan yang terbatas.
- Transdermal
delivery system untuk clonidine bisa dihubungkan dengan efek samping yang
lebih kecil dan peningkatan kepatuhan. Patch digunakan pada kulit selama 2
minggu sebelum diganti. Tekanan darah diturunkan sementara konsentrasi
serum obat yang tinggi bisa dihindari. Kerugiannya adalah harga mahal, 20%
kejadian kulit kemerahan yang terjadi lokal atau iritasi, dan penundaan
onset efek selama 2 atau 3 hari.
Vasodilator
- Hydralazine
dan minoxidil menyebabkan relaksasi otot polos arteriol secara langsung
melalui mekanisme yang meningkatkan konsentrasi seluler cyclic guanosine
monophosphate (cGMP).
- Compensatory
activation dari reflek baroreseptor menyebabkan peningkatan
sympathetic outflow dari pusat vasomotor, menghasilkan peningkatan
denyut jantung, cardiac output, dan pelepasan renin. Konsekuensinya,
keefektifan vasodilatasi dari vasodilator langsung menghilang dengan waktu
kecuali pasien juga mengkonsumsi inhibitor simpatik dan diuretik. Pada
pasien yang lebih tua, mekanisme baroreseptor bisa tidak optimal sehingga
tekanan darah bisa diturunkan dengan terapi vasodilator tanpa menyebabkan
over aktivitas simpatik.
- Pasien
yang dicalonkan untuk obat sebaiknya menerima terapi duretik dan
β-adrenergic blocker sebelumnya. Vasodilator langsung bisa menyebabkan
angina pada pasien dengan penyakit arteri kroner kecuali mekanisme reflek
baroreseptor di-block total dengan inhibitor simpatik. Clonidine bisa
digunakan pada pasien yang kontraindikasi dengan β blocker.
- Hydralazine
bisa menyebabkan sindroma seperti lupus yang terkait dosis, yang lebih
umum pada asetilator lambat. Reaksi seperti lupus bisa dihindari dengan
menggunakan total dosis harian <200 mg. efek samping lain dari
hydralazine termasuk dermatitis, drug fever, neuropati perifer,
hepatitis, dan vascular headache. Untuk alasan ini, penggunaan
hydralazine pada perawatan hipertensi terbatas.
- Minoxidil
adalah vasodilator yang lebih poten dari hydralazine, dan peningkatan
kompensasi pada denyut jantung, cardiac output, pelepasan renin, dan
retensi natrium lebih dramatis. Retensi air dan natrium yang parah bisa
menyebabkan gagal jantung kongestif. Minoxidil juga menyebabkan
hypertrichosis reversibel pada wajah, lengan, punggung, dan dada. Efek
sampng lain termasuk effusi (keluarnya cairan) pericardial dan perubahan T
wave non spesifik pada ECG. Minoxidil umumnya diberikan untuk hipertensi
yng sulit dikntrol.
Postganglionic Sympathetic Inhibitor
- Guanethidine dan guandrel menghabiskan
norepinefrin dari terminal saraf simpatik post ganglionik dan menginhibit
pelepasan norepinefirn sebagai respon terhadap stimulasi saraf simpatik.
Ini mengurangi cardiac output dan tahanan vascular perifer.
- Hipotensi postural umum terjadi karena
penghalangan vasokontriksi yang dimediasi reflek. Efek samping lain
termasuk impotensi, diare parah (karena aktivitas parasimpatik), dan
bertambahnya berat. Karena efek samping ini, postganglionic sympathetic
inhibitor mempunyai peran kecil pada pengaturan hipertensi.
Reserpine
- Reserpine menghabiskan norepinefrin dari akhiran
saraf simpatik dan menghalangi transpor norepinefirn ke granule
penyimpanan. Ketika saraf sistimulasi, jumlah epinefrin yang dilepaskan ke
sinap kurang dari biasanya. Ini mengurangi tonus simpatik, menurunkan
tahanan vascular perifer dan tekanan darah.
- Reserpine bisa menyebabkan retensi cairan dan
natrium yang signifikan, dan sebaiknya diberikan dengan diuretik.
- Inhibisi kuat aktivitas simpatik dari Reserpine
menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas parasimpatik, yang berperan
untuk efek samping hidung buntu, peningkatan sekresi gastrik, diare, dan
bradikardi.
- Efek samping paling serius adalah depresi mental
yang terkait dosis sebagai akibat dari deplesi serotonin dan katekolamine
CNS. Ini bsia dikurangi dengan dosis tidak melebihi 0,25 mg sehari.
Kombinasi diuretik dan reserpine merupakan regimen antihipertensi yang
efektif dan tidak mahal.
Pengaturan pada Populasi Khusus
Meski thiazide dan β blocker disukai pada pasien
dengan uncomplicated hypertension, agen alternatif bisa dipertimbangkan pada
beberapa kasus karena sifatnya yang unik bermanfaat untuk kondisi yang dialami
Hipertensi pada Manula
- Pasien
manula bisa mengalami isolated systolic hypertension atau
peningkatan pada SBP dan DBP. Data epidemiologis mengindikasikan bahwa
morbiditas dan mortilitas cardiovascular lebih terkait dengan SBP daripada
DBP. Pada uji double blind placebo-controlled Systolic Hypertension in the
Elderly Program (SHEP), perawatan aktif pada isolated systolic
hypertension memberi hasil pengurangan 36% pada insiden stroke total,
pengurangan 27% pada jumlah kejadian cardiovascular total, dan pengurangan
55% pada gagal jantung kongestif.
- JNC-VI
menyarankan pengurangan SBP sampai <140 mmHg, tapi pengurangan sampai
<160 mmHg mungkin perlu bagi mereka yang tekanan awal sistoliknya
sangat tinggi.
- Pasien
manula biasanya lebih sensitif terhadap deplesi volume dan inhibisi
simpatik, dan perawatan sebaiknya diawali dengan dosis kecil diuretik
(seperti, hydrochlorothiazide, 12,5 mg) dan meningkat secara bertahap.
Jika diuretik tunggal tidak bisa menghasilkan pengurangan SBP yang
diinginkan, ACE inhibitor bisa ditambahkan pada dosis kecil dengan
peningkatan bertahap. β blocker adalah obat pilihan pertama pada manula
yang mengidap angina dan hipertensi, dan ACE inhibitor sangat disukai
untuk pasien hipertensi dengan diabetes atau gagal jantung.
Hipertensi pada Masa Anak-anak
- Pada kebanyakan kasus, faktor yang dihubungkan
dengan hipertensi pada anak-anak serupa dengan faktor pada dewasa. Tetapi,
hipertensi sekunder biasanya lebih umum pada anak-anak daripada dewasa.
- Penyakit ginjal (seperti, pyelonephritis,
glomerulonephritis, stenosis artreri ginjal, kista ginjal) adalah penyebab
paling umum hipertensi sekunder pada anak-anak. Perawatan medis atau
operasi pada penyebab biasanya mengembalikan tekanan darah ke normal.
- Seperti pada dewsa, perawatan non farmakologi
adalah landasan terapi hipertensi primer. Duretik dan β blocker berguna
pada anak dan neonatus tapi harus dihindari pada gadis yang aktif secara
seksual (???) dan pada mereka yang mungkin mempunyai stenosis arteri
ginjal bilateral atau stenosis unilateral pada ginjal tunggal. Nifedipine
adalah Ca channel blocker yang kerjanya panjang dan telah digunakan paling
sukses pada anak-anak, tapi keamanannya untuk penggunaan jangka panjang
belum ditentukan.
Hipertensi pada Kehamilan
- Preclampsia
bisa menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa untuk ibu dan fetus; biasanya
muncul setelah 20 minggu kehamilan pada wanita primigravid. Diagnosis
didasarkan pada munculnya hipertensi (>140/90 mmHg) setelah 20 minggu
kehamilan dengan preoteinuria.
- Perawatan
untuk preclampsia adalah delivery, dan ini diindikasikan jika terjadi
preclampsia frank (preeclampsia plus konvulsi) atau tertunda. Jika
tidak, tindakan seperti pembatasan aktivitas, istirahat di tempat tidur,
dan montoring seksama bisa dilakukan. Pembatasan garam atau tindakan lain
yang bisa mengurangi (contract) volume darah harus dihindari. Beberapa
ahli membatasi perawatan hanya jika DBP >105 atau 110 mmHg. Obat
yang paling umum dipakai adalah hydralazine iv dan labetolol iv.
- Hipertensi
kronik terjadi sebelum 20 minggu kehamilan. Metildopa dianggap sebagai
obat pilihan karena terbiasa digunakan. β blocker dan α/β blocker
labetolol tampaknya aman dan efektif untuk hipertensi sederhana pada
kehamilan, bahkan meski adanya perhatian pada efeknya pada denyut jantung
fetus, intoleransi glukosa, dan retardasi pertumbuhan. Ca channel blocker
bisa juga menjadi pilihan yang baik, dan telah sukses digunakan untuk
perawatan kelahiran prematur. ACE inhibitor (dan mungkin angiotensi II
antagonis) adalah kontraindikasi.
Hipertensi pada Afro-Amerika
- Hipertensi
lebih umum dan lebih parah pada kulit hitam daripada ras lain. Perbedaan
pada homestasis elektrolit, laju filtrasi glomerulus, ekskresi natrium dan
mekanisme transpor, aktivitas plasma renin, dan respon tekanan darah
terhadap ekspansi volume telah dicatat.
- Suplemem
kalium dan kalsium telah menunjukkan mengurangi tekanan darah dalam jumlah
terbatas pada beberapa studi.
- Aktivitas
plasma renin yang rendah dan peningkatan tekanan darah sebagai respon
untuk masuknya natrium dan cairan memunculkan teori hipertensi yang lebih
tergantung volume dan natrum. Individu hitam sangat responsif terhadap
diuretik, sehingga diuretik disrankan sebagai perawatan awal.
- Jika
diuretik tidak memberikan kontrol yang cukup, bisa ditambahkan β blocker
atau ACE inihibitor yang setara efeknya pada hipertensi kulit hitam atau
putih.
- Ca
channel antagonis sama efektifnya dengan diuretik sebagai terapi awal dan
bisa sebagai alternatif jika diuretik kontraindkasi.
Hipertensi dengan Asma, COPD, dan Penyakit Arterial
Perifer
- β blocker, bahkan yang β1 selektif,
sebaiknya dihindari. Tetapi, agen β1 selektif sangat
diindikasikan untuk pasien dengan infark myocardia.
Hipertensi dengan Diabetes Melitus
- Tujuan perawatan tekanan darah pada pasien
diabetes dengan hipertnsi adalah 130/85 mmHg atau kurang berdasar pda
JNC-VI atau <130/80 mmHg berdasar pada panduan dari Natonal Kidney
Foundation.
- ACE inhibitor bisa meningkatkan sensitivitas insulin,
memberikan efek proteksi renal, dan mengurangi kejadian cardiovascular.
Sehingga, agen ini dipilih sebagai terapi awal. Jika ACE inhibitor
sendirian tidak mampu mengontrol tekanan darah sesuai yang diinginkan,
bisa ditambahkan thiazides dosis rendah.
- β blocker bisa menjadi masalah pada pasien dengan
diabetes yang dikontrol ketat karena seringkali menutupi hampir semua
simtom hipoglisemi (tremor, takikardia, dan palpitasi tapi tidak
berkeringat), menunda recovery dari hipoglisemi, dan bisa
menyebabkan peningkatan tekanan darah karena vaskontriksi oleh stimulasi
reseptor α selama fase recovery hipoglisemi. Tetapi, β blocker
telah menunjukkan efektif pada proteksi terhadap morbiditas dan
mortalitas. β blocker tanpa ISA terutama berguna pada pasien diabetes
dengan penyakit jantung iskemi atau setelah infark myocardia.
Hipertensi dengan Dislipidemia
- karena hiperlipidemia termasuk resiko untuk
penyakit arteri koroner, dislipidemia harus dirawat secara efektif atau
dicegah pada pasien hipertensi.
- Thiazide dan β blocker tanpa ISA bisa
mempengaruhi serum lipid berlawanan, tapi efek ini umumnya segera hilang
dan tidak mempunyai konsekuensi klinik. Juga, modifikasi diet yang sesuai
bisa mengurangi atau mengeliminasi efek ini.
- Agonis α adrenergic menurunkan LDL-C dan
meningkatkan level HDL-C. karena agen ini bukan sebagai pelindung terhadap
cardiovascular end point seperti thiazide, sebaiknya tidak
digunakan spesifik untuk dislipidemia.
- ACE inhibitor dan Ca channel antagonis tidak
mempunyai efek pada serum lipid.
Hipertensi dan Penyakit Arteri Koroner
- Untuk pasien hipertensi dengan penyakit jantung
iskemi, β blocker dan Ca channel antagonis menurunkan tekanan darah dan
mengurangi kebutuhan oksigen myocardial. β blocker tanpa ISA bisa
membuat agen in lebih diinginkan.
- Untuk pencegahan sekunder terhadap infark pada
psien hipotensi, β blocker memberikan manfaat lebih daripada Ca channel
blocker. Diltiazem telah terlihat mengurangi infark pada pasien dengan
infark non-Q-wave dan bisa mengurangi kejadian cardiac pada pasien post
infark myocardia yang tidak mengidap gagal jantung.
Hipertensi dan Gagal Jantung
- ACE inhibitor telah terlihat memperbaiki simtom
dan mengurangi masa tinggal di rumah sakit dan mortilitas pada pasien
dengan gagal jantung. Karena tingginya status renin dan angiotensin II
pada pasien dengan gagal jantung, terapi sebaiknya dimulai pada dosis
rendah untuk menghindari penurunan yang dalam dari tekanan darah.
- β blocker dosis rendah dan spironolakton juga
mampu mengurangi morbiditas pada pasien dengan gagal jantung karena
disfungsi sistolik, tapi pemberiannya harus secara bertahap.
- β blocker atau nonhydropyridne Ca channel
antagonis bisa memperbaiki pengisian ventrikel kiri dan cardiac output
pada pasien dengan pengurangan cardiac output karena disfungsi diastolik.
Tetapi, agen ini bsa memperburuk gagal jantung pada pasien dengan
dekompensasi sistolik.
Hypertensive Urgencies and Emergencies
- Hypertensive
urgencies bisa diatur dengan pengobatan oral dan pengurangan tekanan darah
secara gradual dengan tujuan mencapai tahap I setelah beberapa hari.
- Captopril merupakan agen pilihan untuk kebanyakan
kasus, dengan dosis oral 25-50 mg dengan interval 1-2 jam. Onset kerja
adalah 15-30 menit.
- Ca channel blocker seperti amiodipine, 2,5-5 mg
oral pada interval 1-2 jam juga efektif.
- Untuk perawatan hypertensive rebound setelah
penghentian clonidine, pemberian oral obat bisa berguna. Dosis 0,2 mg
diberikan awalnya, diikuti 0,2 mg tiap jam sampai DBP jatuh di bawah 110
mmHg atau total 0,7 mg telah diberikan; dosis tunggal bisa cukup.
- Hypertensive emergencies harus ditangani
secepatnya dengan agreesif untuk membatasi kerusakan organ. Tujuannya
bukan menurunkan tekanan darah ke normal tapi pengurangan sampai 160/100
mmHg dalam 1-6 jam. Penurunan tekanan darah sampai ke rentang normotensive
atau lebih rendah bisa menyebabkan iskemia atau infark organ. Setelah DBP
yang diinginkan tercapai, perawatan harus diatur untuk menahan tekanan
darah tersebut selama beberapa hari untuk penyesuaian fisiologis pada
fungsi autoregulasi. Lalu tekanan darah bisa lebih jauh dikurangi ke level
normotensive.
- Nitropuside adalah agen pilihan untuk
kontrol menit-ke-menit pada kebanyakan kasus. Biasanya diberikan sebagai
infus IV 0,25-8,0 μg/kg per menit. Onset kerka hipotensinya segera dan
hilang dalam 2-5 menit penghentian. Ketika pemberian harus dilanjutkan
lebih dari 72 jam, level serum tiosianat harus diukur, dan infusi harus
dihentikan jika melebihi 12 mg/dl. Resiko toksisitas tiosianat meningkat
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek sampng lain termasuk
kelelahan, mual, anorexia, disorientasi, kelakuan psikotik, kejang otot,
dan jarang, hipotiroid. Pemberian nitropruside membutuhkan montoring
tekanan intra arterial yang konstan.
- Nitrogliserin bisa diberikan iv 5-100 μg/menit.
Seperti nitrat lainnya, nitrogliserin dhubungkan dengan toleransi setelah
24-48 jam.
- Nicardipine diberikan 5-15 mg/jam iv, dan
setelah 15 menit dirubah menjadi 1-2,5 mg/jam. Efek samping umum termasuk
sakit kepala, takikardia, wajah kemerahan, mual dan muntah.
- Felodopam, 0,1-0,3 μg/kg per menit, diberikan
infusi iv. Felodopam bisa menyebabkan takikardia, wajah kemerahan, dan
sakit kepala.
- Labetolol bisa diberikan dengan dosis awal 20 mg
injeksi iv lambat selama periode 2 menit, diikuti injeksi berulang 40-80
mg dengan interval 10 menit, sampai total dosis 300 mg. bisa juga
diberikan dengan infusi terkontrol dengan laju pemberian awal 0,5-2
mg/menit dan lalu disesuaikan menurut respon tekanan darah. Labetolol bisa
menyebabkan hipotensi ortostatik karena efek α blockingnya. Efek samping
lain termasuk nausea, muntah, scalp tingling, berkeringat, pusing,
wajah memerah, dan sakit kepala.
- Hydralazine bisa dberikan iv dengan melarutkan
10-20 mg dalm 20 ml 5% dekstrosa dalam air (D5W) dan
memberikannya dengan laju 0,5-1 ml/menit. Onset kerjanya berkisar dari
10-30 menit, dan efeknya bertahan 2-4 jam. Karena respon hipotensi kurang
bisa diprediksi daripada agen parenteral lain, peran utamanya dalam
perawatan eclampsia atau hipertensi enselopati yang dihubungkan dengan
gangguan fungsi ginjal.
- Diazoxide tidak lagi berguna ketika monitoring
yang intensif tidak tersedia. Ketika digunakan, pemberiannya dalam dosis
kecil iv bolus (50-100 mgtiap 5-10 menit) atau dengan infusi lambat
selama 15-30 menit. Ini bisa menghindari penurunan tekanan darah yang
besar yang terjadi ketika diberikan sebagai iv bolus cepat 300 mg. karena
diazoxides meningkatkan volume plasma, merupakan pengetahuan umum untuk
memberikan diuretik setelahnya kecuali pada pasien yang volume-nya habis
terdeplesi. Diazoxide mempunyai onset yang cepat dan durasi kerja dari
4-12 jam. Terkadang menyebabkan overshoot hypertension, yang bisa
dihilangkan dengan agen lain yang bersifat pressor. Efek samping lain
termasuk mual, muntah, takikardia, hiperglisemia, dan hiperurisemia.
EVALUASI HASIL TERAPI
- Tujuan perawatan antihipertensi adalah untuk
menjaga tekanan darah arterial di bawah 140/90 mmHg untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas cardiovascular. Usaha untuk menurunkan tekanan
darah sampai ke tingkat optimal (130/80 mmHg) harus dilakukan, terutama
pada pasien dengan diabetes atau gangguan fungsi ginjal.
- Pengukuran sendiri atau monitoring tekanan darah ambulatory
automatis harus dilakukan untuk mendapatkan kontrol efektif 24 jam.
Pembacaan harus dilakukan 2-4 minggu setelah memulai terapi atau ketika
membuat perubahan padap terapi. Ketika tingkat tekanan darah yang
diinginkan tercapai, pembacaan bisa dievaluasi tiap 3-6 bulan pada pasien
asimtomatik.
- Harus dilihat riwayat pasien untuk sakit dada,
palpitasi, pusing, dispnea, ortopnea, slurred speech, dan
kehilangan keseimbangan untuk menaksir kemungkinan komplikasi hipertensi
cardiovascular maupun cerebrovascular.
- Parameter lain yang digunakan untuk mengukur
manfaat terapi termasuk perubahan pada temuan funduscopic, regression
hipertropi ventrikel kiri pada ECG atau echocardiogram, resolusi
proteinuria, dan perbaikan pada fungsi ginjal.
- Kepatuhan pasien dengan regimen terapi harus
dilihat secara teratur. Mereka harus ditanyai secara periodik mengenai
perubahan pada persepsi terhadap kesehatan mereka, level energi, fungsi
fisik, dan kepuasan dengan perawatan. Pasien harus dimonitor secara rutin
untuk efek samping obat, sebagaimana didiskusikan sebelumnya pada bab ini.
Komentar
Posting Komentar