Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Linus Santo Tomas - Kochar's Clinical
Medicine for Students, 5th Edition
Translated by Husnul Mubarak,S.Ked
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK/COPD – Chronic
Obstructive Pulmonary Disease ) merupakan suatu kelompok gangguan pulmoner yang
ditandai dengan adanya obstruksi permanent (irreversible) terhadap aliran
ekspirasi udara. Peradangan kronis. Sebagai respon dari asap rokok yang
dihisap, gas beracun, dan debu, merusak saluran napas dan parenkim paru. PPOK
dahulunya diklasifikasikan menjadi subtype bronchitis kronik dan emfisema,
walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Bronkitis kronis didefinisikan
sebagai batuk produktif kronis selama lebih dari 2 tahun dan emfisema ditandai
oleh adanya kerusakan pada dinding alveola yang menyebabkan peningkatan ukuran
ruang udara distal yang abnormal.
Membedakan antara PPOK dengan asma sangat penting
karena asma merupakan sumbatan saluran napas yang intermitten dan penanganan
asma berbeda dengan PPOK. Hiperresponsif bronchial (didefinisikan sebagai
perubahan periodic pada forced expiratory volume dalam waktu 1 detik
[FEV1]), dapat ditemukan pula pada PPOK walaupun biasanya dengan magnitude yang
lebih rendah dibanding pada asma. Perbedaan utama adalah asma merupakan
obstruksi saluran napas reversible, dimana PPOK merupakan obstruksi saluran
napas yang permanent. Selain itu terdapat perbedaan manifestasi lainnya antara
asma dengan PPOK yang ditunjukkan pada tabel 1. Namun demikian, penelitian
telah mengindikasikan pengendalian asma kronis yang buruk pada akhirnya
menyebabkan perubahan struktur dan obstruksi saluran napas yang persisten,
sehingga dalam kasus seperti ini asma telah berevolusi menjadi PPOK tanpa
adanya riwayat merokok.
Etiology
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis
PPOK. Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan
sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak
makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan
protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat
diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease
terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi
predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang
sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide
telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis
karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease.
Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding
epitel bronchial, hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan
fibrosis. Terdapat pula disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya
klirens produksi mucus yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang
bermanifestasi sebagai bronchitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis.
Pada parenkim paru, penghancuran elemen structural yang dimediasi protease
menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya
elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara akibat
rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago. Keseluruhan proses
ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan timbulnya gejala
patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK (Tabel 2).
Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang
tidak terventilasi atau kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli
ini akan menyebabkan hypoxemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan
antara ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli
yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd),
menyebabkan pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi
biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan ini, yang kemudian akan
meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi saluran napas
yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal, dan terjadilah retensi CO2
(hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.
Tabel 1 Perbandingan gejala antara PPOK dan asma
|
||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||
Tabel 2 Patogenesis PPOK
|
||||||||||||||||||||||||
|
Faktor Resiko PPOK
Merokok sekarang ini merupakan faktor resiko utama
untuk terjadinya PPOK di negara maju. Sebanyak 85% hingga 90% pasien dengan
PPOK memiliki riwayat merokok. Namun dilain pihak, hanya 15% dari perokok yang
akan mengidap PPOK, mengindikasikan sepertinya terdapat faktor konstitusional
atau genetic yang menentukan resiko berkembangnya obstruksi saluran napas pada
seseorang. Defisiensi α1-anti-trypsin merupakan satu-satunya faktor
resiko terkait genetic yang diketahui sampai saat ini, namun kecendrungan PPOK
untuk berkembang pada keluarga tertentu mengindikasikan terdapat faktor
herediter lainnya yang belum teridentifikasi. Polusi udara seperti paparan
okupansional terhadap debu dan gas telah terkait dengan perkembangan PPOK.
Faktor resiko lainnya yang berimplikasi klinis termasuk adanya hiperresponsif
bronchial, bayi berat lahir rendah, gangguan pertumbuhan paru pada janin, dan
status sosioekonomi rendah.
Manifestasi klinis
Gejala cardinal dari PPOK adalah batuk dan
ekspektorasi, dimana cenderung meningkat dan maksimal pada pagi hari dan
menandakan adanya pengumpulan sekresi semalam sebelumnya. Batuk produktif, pada
awalnya intermitten, dan kemudian terjadi hampir tiap hari seiring waktu.
Sputum berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula menjadi tebal, kuning,
bahkan kadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik.
Sesak napas setelah beraktivitas berat terjadi seiring
dengan berkembangnya penyakit. Pada keadaan yang berat, sesak napas bahkan
terjadi dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat istirahat akibat semakin
memburuknya abnormalitas pertukaran udara. Pada penyakit yang moderat hingga
berat , pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan penurunan suara napas, ekspirasi
yang memanjang, rhonchi, dan hiperresonansi pada perkusi. Karena penyakit yang
berat kadang berkomplikasi menjadi hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, tanda
gagal jantung kanan (termasuk distensi vena sentralis, hepatomegali, dan edema
tungkai) dapat pula ditemukan. Clubbing pada jari bukan ciri khas PPOK dan
ketika ditemukan, kecurigaan diarahkan pada ganguan lainnya, terutama karsinoma
bronkogenik.
Diagnosis
Riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik yang mendetail
penting untuk menegakkan diagnosis PPOK. Akan tetapi pemeriksaan fungsi paru
sangat penting untuk diagnosis Pemeriksaan Fungsi Paru
Diagnosis PPOK didukung dengan penemuan obstruksi
saluran udara persisten dengan menggunakan spirometri setelah pemberian
bronkodilator (didefinisikan dengan FEV1/FVC kurang dari nilai prediksi ).
Pengukuran volume paru dapat memperlihatkan adanya peningkatan pada volume
residual dan kapasitas total paru walaupun diagnosis obstruksi saluran napas
hanya dapat diketahui dengan keberadaan abnormalitas FEV1/FVC. Kapasitas
keseluruhan karbon dioksida biasanya menurun dengan adanya emfisema namun
normal pada pasien dengan bronchitis kronik.
Fungsi pulmoner biasanya menurun secara progresif dan
walaupun diprediksi kurang akurat pada pasien tertentu, nilai rata-rata tahunan
penurunan FEV1 yaitu 50 hingga 100 mL. Penurunan FEV1 dipercepat pada pasien
yang tetap merokok. Aktivitas menurun secara bermakna ketika FEV1 hanya
berkisar 1 L. FEV1 pasca bronkodilator, performa setelah berjalan selama 6
menit, derajat sesak napas, dan index massa tubuh telah diidentifikasi sebagai
predictor harapan hidup.
Thorax Radiograph dan Pemeriksaan
lainnya
Foto Thorax (CXR/chest X-Ray)
memperlihatkan hiperinflasi paru, diafragma datar, bayangan jantung menyempit,
gambaran bullous pada proyeksi frontal, dan peningkatan ruang udara interkostal
pada proyeksi lateral. Akan tetapi, foto thorax dapat normal pada stadium awal
penyakit ini dan bukan tes yang sensitive untuk diagnosis PPOK. Perubahan
emfisematosa lebih mudah terlihat pada CT-Scan thorax namun pemeriksaan ini
tidak cost-effective atau modalitas yang direkomendasikan untuk skrining
PPOK. Walaupun pencitraan dapat memperlihatkan keberadaan PPOK, hanya
spirometri yang merupakan standar kriteria untuk menegakkan diagnosis obstruksi
saluran napas.
Analisa gas darah juga direkomendasikan ketika FEV1
bernilai 40% di bawah nilai prediksi, dengan adanya tanda cor pulmonale dan
selama eksaserbasi akut berat untuk menilai oksigenasi dan kemungkinan adanya
hiperkapnia.
Pemeriksaan α1-antitrypsin juga direkomendasikan untuk
pasien PPOK dengan umur yang lebih muda dibanding rata-rata (<45>
Penatalaksanaan
Panduan konsensus penanganan terkini bergantung pada
tingkat keparahan PPOK, yang diketahui dari FEV1 (Gambar 1). Intervensi
satu-satunya sejauh ini yang telah terbukti memperbaiki harapan hidup adalah berhenti
merokok dan terapi oksigen jangka panjang (LTOT/Long-Term Oxygen Therapy) untuk
pasien dengan hypoxemia yang bermakna pada saat istirahat. Maka dari itu,
pasien dengan PPOK sebaiknya didorong untuk berhenti merokok. Pasien yang tidak
merokok dihindarkan dari paparan polusi lingkungan atau okupansional yang
diduga merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan penyakitnya. Vaksinasi
influenza sebaiknya diberikan tiap tahun, biasanya pada musim semi awal. Vaksin
pneumokokus direkomendasikan ; imunitas semakin menurun setelah 5 tahun dan
revaksinasi mungkin dibutuhkan pada pasien dengan resiko tinggi infeksi
pneumokokkus serius.
Gambar 1.
Klasifikasi tingkat keparahan PPOK dan pilihan terapi. (Diadaptasi dari Global
Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of COPD, Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2008. Available from:
http://www.goldcopd.org, with permission).
Bronkodilator
Bronkodilator dapat diklasifikasikan sebagai agen
kerja singkat dan kerja panjang dan terbagi lagi menjadi tiga kelas
farmakologis utama (Tabel 3). Bronkodilator kerja singkat mungkin satu-satunya
merupakan medikasi yang diperlukan untuk meringankan gejala pada pasien dengan
penyakit ringan. Dengan meningkatnya keparahan PPOK, bronkodilator kerja
panjang mungkin dapat memberikan manfaat simptomatik untuk periode yang lama.
Semua pasien simptomatik dengan diagnosis PPOK sebaiknya diberikan inhalasi
bronkodilator percobaan, tak peduli apakah hasil spirometri memperlihatkan
respon bronkodilator yang bermakna atau tidak.
Antikolinergik dapat digunakan sebagai penanganan lini
pertama untuk PPOK. Ipratropium bromide merupakan antikolinergik kerja singkat
yang buruk diabsorbsi oleh saluran napas jika diberikan sebagai aerosol dan
memiliki sedikit efek terhadap klirens mukosilier. Tiotropium merupakan
antikolinergik kerja panjang yang telah terbukti mempertahankan FEV1 yang
tinggi. Penggunaan antikolinergik sebagai agen farmakologis pada PPOK tidak
seefektif penggunaannya pada asma.
β2-agonis diduga menyebabkan bronkodilatasi
dengan menstimulasi adenyl cyclase dan meningkatkan cyclic adenosine
monophosphat (cAMP) intraseluler. β2-agonis dapat diberikan dengan
kombinasi antikolinergik untuk mengoptimalkan efek bronkodilator.
Bronkodilator dapat diberikan dengan inhaler dosis
terukur (MDI/meter-dosed inhaler) menggunakan peralatan tertentu atau sebagai
inhaler bubuk kering (DPI/dry-powder inhaler), yang memberikan dosis terukur,
pemberian ditargetkan pada saluran napas sehingga meminimalisir efek samping
sistemik. Nebulizer memberikan dosis yang lebih besar, menggunakan alat yang
besar, dan membutuhkan keterampilan dalam perawatan mesin dan penggunaan
medikasi. Maka MDI yang digunakan pada spacer device merupakan metode
yang lebih dipilih dalam pemberian medikasi inhalasi.
Methylxanthines
Theophylline telah menunjukkan meringannya gejala PPOK
namun obat ini memiliki masa terapeutik yang singkat. Maka bronkodilator
lainnya, jika tersedia, lebih dianjurkan. Theophylline diduga memberikan manfaat
dengan inhibisi phosphodiesterase dan meningkatkan kadar cAMP. Obat ini juga
diperkirakan meningkatkan kontraktilitas diaphragma dengan meningkatkan aliran
darah diaphragma. Efek beneficial pada fungsi diaphragma ini dapat meminimalkan
atau mencegah kelelahan diaphragma atau kegagalan respiratorik pada PPOK berat.
Monitoring kadar obat secara periodic dan penggunaan preparat lepas-lambat
direkomendasikan
Table 3 Bronchodilators
|
||||||||||
|
||||||||||
Table 4 Indikasi penggunaan terapi oksigen jangka
panjang berkelanjutan
|
||||||||||
|
Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi sebaiknya dipertimbangkan pada
PPOK kasus berat hingga sangat berat (FEV1 <50% style=""> pada
pasien asma.
Rehabilitasi Pulmoner
Jika ditujukan untuk pasien dengan PPOK (atau gangguan
kesulitan pernapasan lainnya) program yang komprehensif pada rehabilitasi
pulmoner dapat meningkatkan kapasitas kerja, fungsi psikososial, dan kualitas
hidup. Program ini tidak memperpanjang hidup atau fungsi pulmoner, namun telah
terbukti mengurangi frekuensi rawat inap.
Terapi Oksigen Jangka Panjang (Long Term
Oxygen Therapy/LTOT)
Oksigena merupakan medikasi
inhalasi dan LTOT dapat memperpanjang harapan hidup dan meningkatkan kualitas
hidup pada pasien tertentu dengan PPOK (Tabel 4). Kriteria untuk menggunakan
oksigen bukan berdasar pada sesak napas namun lebih dari hasil pemeriksaan baku
untuk hypoxemia pada saat istirahat dan beraktivitas yang dilakukan pada laboratorium
fungsi pulmoner. Sesak napas tidak selalu berkaitan dengan hypoxemia; banyak
pasien sesak namun tidak hypoxemic dan banyak pula pasien yang hypoxemia namun
tidak mengalami sesak napas. Terdapat kriteria LTOT yang diakui secara meluas
untuk pasien PPOK berdasarkan kadar hypoxemia. LTOT sebaiknya digunakan
setidaknya 15 jam per hari untuk memperoleh manfaat harapan hidup. Terapi ini
biasanya dilakukan dengan mengenakan kanula nasal yang disambung dengan sumber
oksigen. Terdapat unit oxygen yang sangat portabel dan alat yang membantu
pengaliran oxygen ini.
Penanganan Invasif
Bullectomy, Bedah reduksi volume paru, dan
tranplantasi paru merupakan opsi bedah yang dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan PPOK yang sangat berat. Rujukan kepada spesialis bedah thorax
diindikasikan untuk menilai lebih lanjut kecocokan prosedur ini untuk pasien.
Penanganan Eksaserbasi
Pada umumnya, semakin FEV1 menurun maka eksasebasi
lebih sering terjadi. Kebanyakan dipresipitasi oleh infeksi respiratorik yang
biasanya akibat virus namun dapat pula akibat bakteri yang biasanya sering
ditemukan pada saluran napas bagian atas. Eksaserbasi moderat atau berat ditandai
dengan memburuknya dyspnea, batuk, dan peningkatan produksi dan purulensi dari
sputum yang membaik jika diberikan antibiotic yang mencakup Haemophilus
influenzae, pneumokokus, dan Moraxella catarrhalis. Cakupan antibiotic
pseudomonas aeruginosa perlu dipertimbangkan pada pasien yang telah mengalami
eksaserbasi sebanyak tiga kali atau lebih pada tahun sebelumnya. Kortikosteroid
oral dan intravena diberikan pada eksaserbasi berat yang telah dijelaskan di
atas. Ventilasi positif mekanik noninfasif sebaiknya dipertimbangkan karena
dapat mencegah dilakukannya ventilasi mekanik invasive (yang membutuhkan
intubasi) pada beberapa pasien.
Komentar
Posting Komentar